PELALAWAN - Siang yang gerah. Cahaya surya di Langit Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, menerobos dedaunan di hutan Serkap.
Suara mesin ketinting yang penulis tumpangi memecah keheningan Sungai Serkap. Dasar sungai yang hitam akibat ekosistem rawa gambut, menjadikan air sungai berwarna hitam pekat. Terlihat elegan dan misterius.
Ketinting atau kapal bermotor penulis tiba di tepian rawa gambut yang keras. Sebuah pos rangers atau jagawana berdiri di situ.
Dengan ukuran panjang 12 dan lebar 7 meter, pos itu terbagi tiga sekat kamar. Salah satu leaders grup rangers, Hendrizal (37), menyambut kedatangan penulis.
"Sebentar ya bang," ujarnya, setelah mempersilahkan penulis duduk di salah satu ruangan, awal Juni lalu.
Dari teras pos rangers, Hendrizal menelpon seseorang. Dia berbicara sepertinya tengah melaporkan pekerjaannya, sebagai penjaga hutan kawasan Konservasi Sungai Serkap milik perusahaan Sumber Daya Alam (SDA) yang berbasis di Pangkalankerinci, Pelalawan, Riau.
Agak heran juga penulis melihat laki-laki kelahiran Teluk Binjai, Kecamatan Teluk Meranti, itu begitu mudah berkomunikasi.
Sementara penulis, sejak menaiki ketinting dari jembatan Serkap, sinyal handphone Telkomsel makin melemah sebelum pada akhirnya mati, tanpa sinyal.
"Gak bisa nelpon ya, Bang," katanya tersenyum. Pertanyaan itu langsung disambut anggukan penulis. Hendrizal rupanya sudah selesai melaporkan hasil patrolinya hari itu di kawasan konservasi Sungai Serkap ke pimpinannya.
Tangan Hendrizal lalu menunjuk tali nilon yang disangkutkan di teras pagar pos, tali nilon yang panjang sampai akhirnya berakhir di puncak Pohon Ramin, berjarak 50 meteran dari Pos Rangers.
Weleh-weleh, inovasi komunikasi model apa lagi ini?
"Untuk apa itu, Bang?" Keluar juga rasa penasaran penulis, seraya menunjuk pada tali nilon yang terbentang panjang sampai puncak pohon yang berdiri beberapa ratus meter dari Pos Ranger Sungai Serkap.
Laki-laki yang sebelumnya pernah bekerja sebagai security perusahaan itu menjelaskan bahwa dulu di Pos Ranger yang berada di tepian Sungai Serkap ini memang tak ada jaringan telpon seluler sama sekali. Hal itu membuat para penjaga sangat susah sekali dalam berkomunikasi dengan keluarga.
"Apalagi kalau kita ada musibah, misalnya, atau ada info-info mendadak dari kampung, kita selalu terlambat dapat informasi. Bahkan kalau ada kabar keluarga sakit atau meninggal, kabar itu selalu datangnya telat ke kita," Mata Hendrizal menerawang, seolah tengah memutar kembali kenangannya saat lakoni hidup tanpa telpon seluler, karena tak adanya jaringan.
Karena itu, lanjutnya, mereka kemudian mengambil inisiatif mencari jaringan dengan menaikkan HP ke pohon kayu yang paling tinggi di seputaran pos agar bisa mendapatkan hotspot.
Kebetulan di depan pos rangers mereka, berdiri sebatang pohon Ramin (Gonystylus bancanus). Tumbuhan yang berasal dari keluarga Thymelaeaceae itu, menjulang tinggi dan kokoh.
"Jarak Pos Rangers kami dengan Pohon Ramin itu sekitar 50 meter dipisahkan aliran Sungai Serkap. Pohon itu tumbuh di rawa gambut yang mengeras," katanya.
Kala itu, ceritanya lagi, untuk menyimpan salah satu HP supaya bisa dinaikkan di atas Pohon Ramin itu maka Handphone yang akan digunakan sebagai jaringan hotspot mula-mula dibungkus dengan plastik dan kain bekas.
Plastik gunanya supaya kalau hujan tidak basah, sedangkan kain bekas tujuannya meredam efek panas terhadap ponsel yang bisa menyebabkan baterai ponsel cepat habis. Kemudian digunakan pancing katrol pakai batu untuk menyangkutkannya di dahan yang paling tinggi.
"Ya, memang perlu berulang-ulang kita untuk menyangkutkannya. Atau, kalau malas menyangkutkan, salah seorang kawan naik ke pohon Ramin itu lalu disangkutkan di dahan yang paling tinggi," kata laki-laki yang mengaku punya dua anak ini.
Namun sekarang, katanya, mereka tidak memakai pola menyangkutkan lagi pakai pancing katrol yang dibebani batu. Kini mereka hanya tinggal mengerek saja HP yang dibungkus plastik itu di puncak Pohon Ramin setinggi lebih 40 meter sebagai hotspot.
Jadi sebelum diganti tali rayon, awalnya yang dilempar itu tali pancing menggunakan tali tipis dan pemberat. Ternyata sampai ke puncak pohon, baru setelah itu diganti dengan tali nilon seukuran tali layaknya mengerek bendera.
"Setiap pagi kami mengganti ponsel yang akan digantung ke puncak pohon supaya bisa tetap bisa berkomunikasi dengan dunia luar, termasuk dengan keluarga," jelasnya.
Hidup sebagai ranger, bagi seorang Hendrizal dan rekan-rekannya adalah hidup yang akrab dengan kesunyian, binatang buas, penebang dan pemburu satwa liar serta berbagai bahaya lainnya. Hidup yang jauh dari kehangatan keluarga namun demi tugas menjaga alam, semua kesulitan itu harus mereka jalani. Hidup yang tak mudah.
Apalagi mereka baru melakukan rotasi setelah dua minggu bertugas dengan libur 10 hari dalam satu bulan. Dengan total area konservasi gambut milik perusahaan kayu terbesar di Asia Tenggara seluas 130 ribu hektar yang harus dijaga, setiap hari Hendrizal dan kawan-kawannya, para jagawana itu harus melaksanakan patroli menaiki ketinting.
"Habis patroli, kami harus laporkan situasi dan kondisi pos penjagaan termasuk nelayan yang keluar masuk sungai Serkap," katanya.
Sebagai rangers, dalam kondisi apapun mereka diharuskan tetap waspada. Apalagi bekerja di tengah hutan belantara sungai Serkap dengan fasilitas seadanya.
Jauh dari keluarga menjadi kemestian yang tak bisa dihindari, demi tanggungjawab kerja menjaga restorasi gambut terluas di Bumi Sumatera.
Namun untungnya, kesunyian hutan berikut kepungan bahaya di dalamnya, serta rasa rindu keluarga dan tanggung jawab kerja seorang Rangers, jaringan seluler milik Telkomsel sinyalnya mampu menembus batas semuanya, di tengah kebebasan era digital saat ini.
Penulis: Andy Indrayanto
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :