JAKARTA – Perubahan besar akibat disrupsi teknologi menuntut industri media bergerak lebih cepat. Transformasi digital kini menjadi keharusan agar media tetap relevan dan kompetitif di tengah gelombang kecerdasan buatan (AI) yang mengubah cara informasi diproduksi dan dikonsumsi publik.
CEO iNews Media Group, Angela Tanoesoedibjo, menegaskan bahwa dunia digital tidak memberi ruang bagi mereka yang lambat beradaptasi.
“Kecepatan menyesuaikan diri menjadi faktor utama agar media bertahan. Kita harus adaptif, talent kita juga harus terus updating,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam Indonesia Digital Conference (IDC) 2025 bertajuk “Sovereign AI: Menuju Kemandirian Digital” yang digelar Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di The Hub Epicentrum, Jakarta Selatan, Rabu (22/10/2025).
Angela menjelaskan bahwa iNews Media Group telah melakukan restrukturisasi besar-besaran untuk memperkuat fondasi digital perusahaan. Kini, komposisi organisasi seimbang antara broadcast dan digital dengan porsi 50:50.
“Kita ganti semua organisasinya,” ungkapnya.
Pendekatan baru ini mengusung konsep one content, multi-platform, multi-format, di mana satu konten dapat dikembangkan ke berbagai kanal dengan format berbeda untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
“Kita melakukan vertical integration, agar setiap platform saling terhubung dan memperluas jangkauan audiens,” jelas Angela.
Dalam memperkuat kehadiran digitalnya, iNews juga memperluas kolaborasi dengan berbagai mitra strategis, seperti e-commerce, YouTube, dan TikTok.
“Kolaborasi dengan e-commerce sudah berjalan,” tambah Angela.
Melalui program live shopping dan konten interaktif, iNews berupaya menciptakan nilai tambah bagi penonton sekaligus memperkuat monetisasi digital.
Sementara itu, Ketua Umum AMSI, Wahyu Dhyatmika, menilai bahwa disrupsi teknologi telah membawa perubahan signifikan dalam ruang redaksi media.
“Banyak teman-teman di redaksi kini menggunakan AI,” katanya.
Menurutnya, teknologi ini memang meningkatkan efisiensi produksi dan distribusi berita, namun juga menimbulkan risiko baru berupa hilangnya kontrol redaksi terhadap konten.
“Kalau media tidak lagi punya reach, itu akhir dari media seperti yang kita kenal,” tegas Wahyu.
Wahyu menekankan, disrupsi membawa peluang sekaligus ancaman bagi keberlangsungan industri. Karena itu, adaptasi cepat menjadi syarat utama bagi media agar tetap eksis di era kecerdasan buatan.