PEKANBARU – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Penjabat (Pj) Walikota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa, beserta dua mantan bawahannya eks Sekda Indra Pomi Nasution dan eks Plt Kabag Umum Setda Novin Karmila kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Pekanbaru, Selasa (20/5/2025).
Dalam persidangan kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan lima orang saksi. Mereka adalah Mario Abdillah (Auditor Ahli Muda Inspektorat Pekanbaru), Sukardi Yasin (Kabid Anggaran BPKAD Pekanbaru), Harianto (Kabid Perbendaharaan BPKAD Pekanbaru), Zikrullah (Analis Kebijakan Ahli Muda Setdako Pekanbaru), dan Irwandi (Analis Kebijakan Ahli Muda Setda Pekanbaru).
JPU KPK, Meyer Volmar Simanjuntak, dalam dakwaannya mengungkap bahwa Risnandar Mahiwa bersama Indra Pomi dan Novin Karmila diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan memotong anggaran dari dana Ganti Uang Persediaan (GU) dan Tambahan Uang Persediaan (TU) yang bersumber dari APBD dan APBD-P Kota Pekanbaru Tahun Anggaran 2024.
“Total kerugian negara yang timbul akibat pemotongan dan penerimaan dana ilegal ini mencapai Rp8,95 miliar,” ujar Meyer.
Dari total tersebut, Risnandar diduga menerima lebih dari Rp2,9 miliar, Indra Pomi sekitar Rp2,4 miliar, dan Novin Karmila sekitar Rp2 miliar. Tak hanya itu, ajudan Risnandar, Nugroho Adi Triputranto alias Untung, juga disebut menerima aliran dana sebesar Rp1,6 miliar.
JPU mengungkapkan bahwa tindak pidana ini berlangsung antara Mei hingga Desember 2024, dengan modus pencairan GU sebesar Rp26,5 miliar dan TU sebesar Rp11,2 miliar, total mencapai lebih dari Rp37,7 miliar. Proses pencairan tersebut dikendalikan melalui skema internal yang melibatkan penandatanganan dokumen keuangan hingga pengumpulan dana secara langsung maupun transfer.
Selain melakukan korupsi melalui pemotongan anggaran, ketiga terdakwa juga didakwa menerima gratifikasi. Risnandar tercatat menerima gratifikasi senilai Rp906 juta dalam bentuk uang dan barang dari delapan pejabat ASN. Indra Pomi menerima gratifikasi senilai Rp1,2 miliar, sedangkan Novin Karmila Rp300 juta.
Dakwaan juga menyebutkan bahwa penerimaan dana tersebut tidak pernah dilaporkan ke KPK sebagaimana diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
Atas perbuatannya, para terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf f juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sidang akan dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan saksi lainnya dan pembuktian dari kedua belah pihak. KPK menegaskan bahwa kasus ini mencerminkan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat publik dalam skema sistematis dan , seperti yang dilansir dari tribunnews.(*)