Minim Partisipasi Publik, FITRA Desak DPRD se-Riau Tingkatkan Keterbukaan Informasi
PEKANBARU – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau menyoroti minimnya keterbukaan informasi dalam proses legislasi daerah di Provinsi Riau. Dalam penilaiannya, FITRA menemukan bahwa partisipasi publik dalam pembentukan Peraturan Daerah (Perda) masih sangat terbatas, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Koordinator FITRA Riau, Tarmizi, mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan penilaian terhadap sistem informasi legislasi yang dikelola oleh DPRD se-Riau. Penilaian ini meliputi ketersediaan sarana informasi online seperti website legislasi, fasilitas komunikasi audio visual, layanan pengaduan publik, serta dukungan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
"Dari hasil evaluasi, kami menilai masih banyak DPRD yang belum membuka ruang partisipasi publik secara memadai, baik dalam tahap perencanaan, pembahasan, hingga pengesahan Perda," ujar Tarmizi, Jumat (13/6).
Dalam pemeringkatan yang dilakukan, DPRD Pelalawan dan DPRD Bengkalis mencatatkan nilai tertinggi dalam aspek keterbukaan legislasi. DPRD Pelalawan mendapat skor 0,43, disusul DPRD Bengkalis dengan 0,37.
Sementara itu, DPRD Provinsi Riau hanya meraih nilai 0,20. Beberapa daerah lainnya menunjukkan capaian yang lebih rendah, bahkan nihil, seperti DPRD Kota Pekanbaru dan DPRD Kuantan Singingi (Kuansing) yang masing-masing memperoleh nilai 0,00.
Rincian skor keterbukaan sistem informasi legislasi di Pelalawan 0,43, Bengkalis 0,37, Siak 0,22, Provinsi Riau 0,20, Kampar & Inhil 0,19, Meranti 0,16, Dumai & Rohil 0,15, Rohul0,14, Inhu 0,06, dan Pekanbaru & Kuansing 0,00.
Menurut Tarmizi, rendahnya nilai ini menunjukkan bahwa masyarakat masih belum diberikan ruang yang cukup untuk menyuarakan pendapatnya terhadap kebijakan daerah, khususnya dalam perumusan dan pengesahan Perda.
Saat ini, FITRA mencatat terdapat sekitar 15 Rancangan Perda (Ranperda) yang akan dibahas untuk tahun 2025. Lima di antaranya berkaitan dengan kelompok rentan dan menjadi prioritas pemantauan.
"Kami mendorong DPRD dan pemerintah daerah untuk segera mengimplementasikan Sistem Informasi Legislasi Daerah (Silegda),” ujar Tarmizi.
FITRA menekankan bahwa pelibatan masyarakat seharusnya dilakukan sejak tahap awal penyusunan Perda, bukan setelah disahkan.
“Jangan sampai ketika Perda sudah jadi, baru publik diajak bicara. Itu sudah terlambat,” tegasnya.
Sebagai bentuk perbaikan, FITRA Riau merekomendasikan agar DPRD aktif mengembangkan dan mengelola website legislasi yang terintegrasi dengan kanal aspirasi publik.
Menyusun dan menerapkan SOP pengelolaan legislasi secara transparan. Pemerintah daerah mendukung sistem informasi legislasi melalui kebijakan dan anggaran.
Penambahan fitur aksesibilitas digital seperti teks alternatif, pembaca layar, dan subtitle pada video.
Melatih kelompok perempuan, penyandang disabilitas, dan komunitas rentan agar mampu berpartisipasi aktif dalam proses legislasi.
Melalui upaya ini, FITRA berharap keterbukaan dan partisipasi publik dalam legislasi daerah dapat ditingkatkan, sehingga produk hukum yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. (rilis)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :