PEKANBARU — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau mengingatkan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) agar tidak gegabah dalam menangani penertiban kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, yang selama ini diduduki masyarakat untuk kebun sawit.
Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat WALHI Riau, Eko Yunanda, menyatakan pihaknya mendukung upaya pemerintah untuk mengembalikan fungsi kawasan tersebut sebagai taman nasional. Namun, ia menekankan pentingnya menyertakan pendekatan penyelesaian konflik yang mempertimbangkan hak-hak masyarakat.
“Proses relokasi yang dijadwalkan paling lambat pada 22 Agustus 2025 berisiko memicu konflik serius jika dilakukan dengan cara-cara militeristik dan represif atas nama negara,” ujar Eko dalam pernyataan resminya, Jumat, 21 Juni 2025.
Taman Nasional Tesso Nilo pada awalnya memiliki luas 81 ribu hektare. Namun, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit telah menyusutkan kawasan itu secara drastis. Saat ini, hanya sekitar 20 ribu hektare yang tersisa sebagai kawasan hutan.
Informasi tersebut disampaikan Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen Richard TH Tampubolon saat mengunjungi Taman Nasional Tesso Nilo bersama tim Satgas PKH pada Selasa, 10 Juni 2025. Dari total luas yang tersisa, sekitar 6.700 hektare merupakan hutan primer, 5.400 hektare hutan sekunder, dan sisanya 7.000 hektare berupa semak belukar.
Pemerintah menetapkan masa relokasi mandiri bagi masyarakat dari 22 Mei hingga 22 Agustus 2025.
Eko menyoroti bahwa pendudukan kawasan oleh masyarakat tidak lepas dari pembiaran oleh negara selama bertahun-tahun. Keberadaan desa definitif serta fasilitas umum di dalam kawasan menunjukkan adanya keterlibatan atau kelalaian negara dalam mengawasi dan mengendalikan aktivitas ilegal.
“Pemerintah selama ini turut membiarkan atau bahkan mempercepat proses penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat melalui pembentukan desa dan pembangunan sarana,” tegasnya.
WALHI mendesak agar proses pemulihan kawasan dilakukan secara adil dan manusiawi. Salah satunya dengan memberikan masyarakat skema jangka benah yang layak dan mengganti tanaman sawit secara bertahap dengan jenis tanaman kehutanan.
Mereka mengingatkan bahwa relokasi tidak hanya soal pindah tempat tinggal, tetapi menyangkut kelangsungan hidup masyarakat. Tenggat waktu yang bersifat menyamaratakan, menurut WALHI, justru dapat memicu konflik baru.
Eko mengutip data dari Eyes on The Forest (EoF) tahun 2010 yang mencatat bahwa aktivitas penggunaan lahan oleh masyarakat di wilayah Tesso Nilo telah berlangsung sejak tahun 1999, lima tahun sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional pada 2004, seperti yang dilansir dari tempo.(*)
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :