PEKANBARU - Kota Pekanbaru dapat dikatakan sebagai daerah yang signifikan dalam pertumbuhan penduduknya. Terbukti, meningkat dua kali lipat dari 500 ribu pada tahun 2000 hingga saat ini berjumlah lebih dari 1,1 juta orang.
Pertumbuhan ini tidak hanya ditandai oleh geliat pembangunan infrastruktur, meningkatnya arus urbanisasi, dan perluasan kawasan permukiman, tetapi juga oleh kompleksitas persoalan lalu lintas yang semakin terasa.
Salah satu wajah nyata dari kompleksitas tersebut adalah kemunculan sosok-sosok informal yang akrab kita kenal dengan sebutan Pak Ogah.
Pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Riau, Dr Ir Muchammad Zaenal Muttaqin menyebutkan fenomena Pak Ogah di ruang-ruang lalu lintas perkotaan tidak muncul secara tiba-tiba. Apalagi berdiri sendiri tanpa latar belakang.
"Pak Ogah bukanlah gejala yang lahir dari kehendak individu semata, melainkan merupakan produk dari serangkaian kondisi sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang saling berkaitan dan belum sepenuhnya terpenuhi," kata Dr Ir Muchammad Zaenal Muttaqin, Kamis (31/7/2025).
Dalam konteks Pekanbaru, dan kota-kota besar lain di Indonesia, masyarakat dapat menyaksikan bagaimana pertumbuhan kendaraan dan intensitas pergerakan manusia melaju begitu cepat. Sementara kapasitas institusi yang bertanggung jawab atas pengelolaan lalu lintas tertinggal jauh di belakang.
"Keterbatasan jumlah petugas di lapangan, keterlambatan pembangunan infrastruktur pendukung seperti traffic light, marka, dan rambu, serta lemahnya integrasi perencanaan lintas sektor telah menciptakan celah-celah sistem yang rentan di berbagai titik," ungkapnya.
Ketika Pemko Pekanbaru, disebutkan Dr Zaenal, dalam hal ini belum mampu menjangkau seluruh simpul-simpul kemacetan, terutama pada lokasi rawan konflik arus seperti simpang tak bersinyal, putaran balik, atau pintu keluar pusat keramaian, maka muncullah ruang kosong dalam tata kelola lalu lintas.
Ruang kosong inilah yang kemudian secara alami diisi oleh aktor-aktor non-formal dari masyarakat.
"Kehadiran Pak Ogah menjadi wujud dari inisiatif masyarakat akar rumput untuk mengatur arus lalu lintas dengan caranya sendiri. Munculnya mereka bukan karena ada sistem rekrutmen atau pelatihan, melainkan karena ada kebutuhan praktis yang tidak dijawab oleh lembaga formal," sebutnya.
Namun sayangnya, inisiatif ini lebih cenderung bersifat pragmatis dan tidak dilandasi oleh pemahaman keselamatan, legalitas, atau prinsip rekayasa lalu lintas.
"Apa yang dilakukan oleh Pak Ogah sering kali bukan untuk menciptakan ketertiban arus secara menyeluruh, melainkan hanya demi kelancaran sesaat untuk segelintir pengguna jalan terutama yang bersedia memberi imbalan," katanya.
Bahkan, dalam banyak kasus, praktik ini berujung pada bentuk eksploitasi ruang publik, di mana pengendara "dipaksa" memberi uang atas layanan yang sebenarnya tidak diminta, tidak dijamin keamanannya, dan tidak memiliki dasar hukum.
Seiring waktu, kondisi ini berubah menjadi pola yang mengakar dan dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat, padahal secara substansi hal ini mencerminkan ketimpangan dalam pelayanan publik dan lemahnya kehadiran negara di bidang manajemen transportasi.
"Dari aspek sosial, sebagian besar Pak Ogah berasal dari kelompok masyarakat marginal: pengangguran, pekerja informal musiman, atau bahkan mereka yang pernah mengalami masalah sosial seperti putus sekolah atau migran urban tanpa keterampilan," sebut Dr Zaenal.
Di tengah minimnya lapangan kerja dan tekanan hidup di kota, menjadi Pak Ogah dipandang sebagai cara bertahan hidup yang "cepat dan instan". Mereka tidak perlu izin, tidak perlu modal besar, dan cukup bermodal tubuh dan keberanian untuk berdiri di tengah jalan. Situasi ini diperparah oleh sikap permisif masyarakat.
"Banyak pengguna jalan yang karena terburu-buru atau tidak ingin terlibat konfrontasi, dengan sukarela memberikan uang kepada Pak Ogah. Bahkan tidak sedikit yang menganggap kehadiran mereka adalah "jasa" yang pantas dihargai, walau secara hukum dan etika sebetulnya tidak demikian. Masyarakat terjebak dalam praktik transaksional yang merugikan tata kelola transportasi dalam jangka panjang," pungkasnya.
Penulis: Yuni
Editor: Riki