SIAK - Mentari pagi menyemburatkan sinarnya dari balik gugusan awan tipis, seolah tak tega menyorot penuh hamparan duka yang masih membekas di lokasi PT Sumber Seraya Lestari (SSL), Kampung Tumang, Kabupaten Siak.
Sinar keemasannya memantul lembut di atas tenda-tenda pengungsian yang berdiri seadanya, mencoba menyalakan secercah harapan dari puing-puing ketakutan yang belum sepenuhnya reda.
Namun, pagi itu suasana berubah. Langkah-langkah berderap dari para personel Polres Siak bukan datang membawa ancaman, melainkan kehangatan.
Di tengah kenangan kerusuhan akibat sengketa lahan antara masyarakat Tumang dan pihak perusahaan yang belum lama mengguncang karyawan beserta keluarga mereka, kehadiran aparat ini membawa nuansa berbeda.
Masih terngiang dalam benak para pengungsi teriakan yang mengguncang langit.
"Bakar! Bakar! Keluar kalian semua!"
Suara itu bagaikan petir yang merobek kedamaian. Tangisan anak-anak dan perempuan menggema, pilu dan nyaring, menembus dinding-dinding yang kini hangus terbakar.
Rumah-rumah dinas perusahaan, yang dulunya menjadi tempat berlindung, kini berubah menjadi lautan api. Ketakutan menggulung seperti badai, melahap harapan dan menyisakan abu-abu duka yang sulit terhapus.
Di tengah kepanikan itu, kehadiran personel Polres Siak menjadi oase harapan. Bukan derap sepatu dan teriakan komando yang mereka bawa, melainkan boneka-boneka kecil, pelukan hangat, serta tatapan penuh kasih yang menyapu air mata anak-anak.
Dengan pendekatan humanis yang jarang terlihat dalam situasi darurat, para personel menjelma menjadi pelindung sekaligus penghibur, menyampaikan pesan bahwa di tengah abu dan kehancuran, kemanusiaan masih bernapas.
Dipimpin langsung oleh Kasat Lantas Polres Siak, AKP Kaliman Siregar, S.H., M.H., para polisi menjalankan misi kemanusiaan bertajuk trauma healing.
Bukan sekadar pelipur lara, aksi ini menjadi bukti bahwa di balik seragam aparat, masih ada ruang luas untuk kemanusiaan tumbuh.
Di sudut tenda, seorang anak kecil memeluk erat boneka beruang cokelat yang baru saja ia terima. Di pelukannya, tergambar usaha menggantikan rasa kehilangan dengan sepotong kenyamanan baru.
Tak jauh dari situ, seorang ibu menitikkan air mata saat tangan kasarnya yang mulai keriput digenggam lembut oleh seorang polisi.
"Tenang, Bu. Ibu tidak sendiri. Kami di sini untuk mendengar," bisik sang polisi, menyayat keheningan udara pagi itu.
Konflik antara warga dan perusahaan memang telah mereda secara fisik, namun luka psikis masih membekas. Kerusakan bangunan mungkin bisa diperbaiki, tetapi trauma, ketakutan, dan luka batin terutama yang dialami perempuan dan anak-anak—masih menghantui malam-malam mereka.
Kegiatan ini menjadi secercah cahaya di lorong panjang yang gelap. Sebuah upaya untuk menumbuhkan kembali rasa percaya bahwa mereka tidak sendiri.
"Ini bukan sekadar tugas. Kami datang bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi sebagai manusia yang peduli. Ini bentuk nyata bahwa kami ingin memulihkan, bukan hanya menegakkan," ujar AKP Kaliman dengan suara bergetar.
Personel kepolisian terlihat menyapa satu per satu warga, duduk bersila bersama anak-anak, bermain mobil-mobilan, menyuapi camilan, hingga menyanyikan lagu ceria untuk menghapus jejak tangis semalam.
Ada yang membawa boneka, ada yang membagikan susu kotak. Namun yang paling menyentuh, mereka semua datang membawa hati.
Di tengah tawa kecil yang mulai terdengar, seorang bocah bernama Andra berbisik sambil memeluk kaki seorang polisi:
"Bolehkah Abang jadi ayahku sebentar?"
Sepotong kalimat polos itu membungkam waktu. Siapa pun yang mendengarnya, pasti tergugah.
"Mendengar itu, rasanya seperti ditampar kenyataan bahwa trauma anak-anak ini begitu nyata dan dalam. Kami jadi makin sadar, tugas polisi bukan hanya menjaga ketertiban, tapi juga memulihkan rasa aman yang telah dirampas," ujar Kaliman, matanya berkaca-kaca.
Perlahan, suasana di tenda berubah. Dari ruang pengungsian yang sunyi dan dingin, menjadi tempat pemulihan emosional yang hangat. Tangisan berganti senyum kecil. Ketakutan berganti pelukan. Luka mulai terobati, meski belum sepenuhnya sembuh.
Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya kegiatan sosial biasa. Tapi bagi para korban, ini adalah awal dari perjalanan panjang menuju pemulihan. Sebuah ajakan diam-diam untuk kembali percaya pada dunia bahwa masih ada tangan yang siap mengangkat, bukan menjatuhkan.
Di tengah serpihan luka dan trauma, kepedulian Polres Siak bukan sekadar kunjungan. Ia menjelma menjadi obat pertama yang menyentuh hati pelan tapi pasti. Di sanalah, matahari akhirnya tak hanya menari di atas tenda-tenda pengungsian, tapi juga menyinari ruang hati yang hampir padam.
Penulis: Diana Sari
Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda) |
Komentar Anda :