BUKITTINGGI - Tak lengkap rasanya kunjungan ke Provinsi Sumatera Barat tanpa menyempatkan diri melihat kemegahan Jam Gadang di Kota Bukittinggi.
Menara jam setinggi 27 meter ini telah menjadi ikon yang tak terpisahkan dari kota berhawa sejuk tersebut.
Dalam bahasa Indonesia, "Jam Gadang" berarti "jam besar," sesuai dengan ukuran jam yang terpasang di setiap sisinya, masing-masing berdiameter 80 sentimeter.
Diperkirakan telah berdiri kokoh selama 98 tahun atau hampir satu abad, Jam Gadang diresmikan pada 25 Juli 1927.
Mesin penggerak jam ini terbilang canggih pada masanya, didatangkan secara mekanik langsung dari Rotterdam, Belanda, melalui Pelabuhan Teluk Bayur. Mesin dan permukaan jam terletak satu tingkat di bawah puncak menara.
Pada bagian loncengnya tertera nama pabrikan pembuat jam, yaitu Vortmann Recklinghausen. Vortmann sendiri merupakan nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sementara Recklinghausen adalah nama kota di Jerman tempat mesin jam ini diproduksi pada tahun 1892.
Dilansir dari Wikipedia, pembangunan Jam Gadang berlangsung dari tahun 1925 hingga 1927 atas inisiatif Hendrik Roelof Rookmaaker, seorang controleur atau sekretaris Kota Fort de Kock (kini Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Uniknya, jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda Wilhelmina. Arsitek lokal asal Koto Gadang, Yazid Rajo Mangkuto, bertindak sebagai penanggung jawab pembangunan, dengan pelaksana pembangunan ditangani oleh Haji Moran dan mandornya, St. Gigi Ameh.
Peletakan batu pertama pembangunan Jam Gadang dilakukan oleh putra pertama Rookmaker yang saat itu masih berusia enam tahun.
Pembangunan menara jam ini menelan biaya sekitar 15.000 Gulden, di luar biaya upah pekerja sebesar 6.000 Gulden. Dana pembangunan berasal dari Pasar Fonds, badan pengelola dan pengumpul pajak pasar-pasar di Bukittinggi.
Sejak pertama kali didirikan, Jam Gadang telah mengalami tiga kali perubahan signifikan pada bentuk atapnya. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan yang menghadap ke arah timur di puncaknya.
Bentuk ini konon merupakan sindiran agar masyarakat Kurai, Banuhampu, hingga Sungai Puar terbiasa bangun pagi saat ayam berkokok.
Pada masa pendudukan Jepang, bentuk atap Jam Gadang diubah menyerupai arsitektur Kuil Shinto. Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1953, atap Jam Gadang kembali diubah menjadi bentuk gonjong, yang merupakan ciri khas atap rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang, dan bertahan hingga saat ini.
Selain berfungsi utama sebagai penunjuk waktu, Jam Gadang juga pernah memiliki fungsi lain yang vital, yaitu sebagai pos pengamatan.
Terutama dalam situasi darurat seperti kebakaran yang pernah melanda Pasar Ateh, petugas dapat memanfaatkan ketinggian menara untuk mengawasi situasi sekitar dan membantu mengarahkan upaya pemadaman kebakaran.
Jam Gadang juga mencatat sejarah sebagai lokasi terjadinya beberapa peristiwa penting pada masa-masa sekitar kemerdekaan Indonesia, di antaranya pengibaran bendera merah putih pada tahun 1945, Demonstrasi Nasi Bungkus pada tahun 1950, serta peristiwa tragis pembunuhan 187 penduduk setempat oleh militer Indonesia atas tuduhan terlibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1959.
Keberadaannya yang hampir satu abad menjadikan Jam Gadang bukan hanya sekadar ikon wisata, tetapi juga saksi bisu perjalanan sejarah Kota Bukittinggi.
Penulis: Sri Wahyuni
Editor: M Iqbal