JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Komisaris Utama PT Inti Alasindo Energy (IAE), Aryo Sadewo, terkait dugaan penyimpangan dalam pembayaran uang muka senilai USD 15 juta atau sekitar Rp 240 miliar. Pemeriksaan ini menjadi langkah penting dalam mengungkap adanya proyek yang tidak tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT Perusahaan Gas Negara (PGN), namun tetap mendapat kucuran dana besar.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi pemeriksaan intensif terhadap Aryo Sadewo yang berlangsung pada Selasa (19/8/2025). Penyidik fokus menelusuri proses di balik kesepakatan yang menggunakan metode pembayaran di muka (advance payment) bernilai fantastis tersebut.
“Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi terkait pengetahuan mengenai proses kerja sama antara PT PGN dan PT IAE, yang melibatkan pembayaran advance payment sebesar 15 juta dolar AS,” ujar Budi Prasetyo, Kamis (21/8/2025).
Sebagai pimpinan tertinggi PT IAE, keterangan Aryo dinilai krusial untuk memetakan pihak-pihak yang diduga terlibat serta pihak yang diuntungkan dari transaksi ilegal ini.
Jejak Proyek ‘Siluman’
KPK menemukan sejumlah kejanggalan yang mengindikasikan adanya persekongkolan. Proyek jual beli gas antara PT PGN dan PT IAE ternyata tidak pernah masuk dalam RKAP yang telah disahkan.
19 Desember 2016 – RKAP PT PGN untuk tahun 2017 disahkan. Tidak ada rencana pembelian gas dari PT IAE dalam dokumen resmi tersebut.
2 November 2017 – Tiba-tiba terjadi penandatanganan kerja sama antara PGN dan PT IAE.
9 November 2017 – Hanya sepekan setelah kontrak diteken, PGN langsung mencairkan uang muka senilai USD 15 juta.
Kecepatan pencairan dana untuk proyek yang tidak terencana tersebut menjadi pintu masuk bagi KPK untuk mendalami dugaan praktik persekongkolan dan korupsi.
Dua Tersangka dan Audit BPK
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua tersangka utama, yakni:
Danny Praditya, Direktur Komersial PT PGN periode 2016–2019
Iswan Ibrahim, Komisaris PT IAE periode 2006–2023
Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui audit investigatifnya menyatakan kerugian negara dalam kasus ini mencapai USD 15 juta, jumlah yang sama dengan uang muka yang digelontorkan PGN untuk proyek ‘siluman’ tersebut.