PEKANBARU - Praktik pembalakan liar (illegal logging) di Kabupaten Inhu kembali menguak dampak ekologis yang mengkhawatirkan.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melalui UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Indragiri mencatat, temuan sekitar 300 meter kubik kayu olahan ilegal setara dengan kerusakan hutan parah dan hilangnya sekitar 120 batang pohon di kawasan Hutan Produksi (HP).
Kasus ini terungkap melalui operasi gabungan yang melibatkan Polres Inhu, Polres Inhil, UPT KPH Indragiri, serta Security PT MSK.
Operasi dipimpin Kasat Reskrim Polres Inhu, AKP Arthur Joshua Toreh, dengan menyusuri aliran sungai menggunakan transportasi air (pompong) di wilayah Kecamatan Kuala Cenaku.
Tim gabungan bergerak dari Pos Security PT MSK di Sungai Simpang Kanan menuju sejumlah titik yang dicurigai menjadi lokasi penumpukan kayu hasil illegal logging.
Hasilnya, petugas menemukan beberapa lokasi tumpukan kayu olahan berupa papan dan broti.
Berdasarkan hasil overlay peta kawasan hutan dan peta perizinan kehutanan, dua titik tumpukan kayu berada di kawasan HP dan areal konsesi PT MSK.
Sementara tiga titik rakitan kayu lainnya terdeteksi berada di kawasan HP dan areal konsesi PT SPA.
Temuan terbesar berada pada koordinat 00°01’17,1” LS – 102°40’59,1” BT, yang juga termasuk kawasan HP dan konsesi PT SPA.
Tim teknis UPT KPH Indragiri yang diwakili Penelaah Teknis Kebijakan, Syamsul Rizal dan Waltur Nainggolan menegaskan, dampak lingkungan akibat aktivitas ini sangat signifikan.
“Dari temuan itu, yang jelas lingkungan pasti rusak dan ekosistemnya terganggu. Saat ini kami masih menghitung estimasi jumlah pohon yang tumbang serta luasan lahan terbuka akibat aktivitas illegal logging tersebut,” ujar Syamsul Rizal, Senin (15/12/2025).
Hasil pemeriksaan menunjukkan, kayu olahan ilegal tersebut didominasi jenis meranti yang masuk Kelompok Jenis Meranti atau Komersial Satu, dengan total kubikasi diperkirakan mencapai ±300 meter kubik.
KLH melalui UPT KPH Indragiri memperkirakan, volume kayu tersebut setara dengan sekitar 120 batang pohon yang ditebang, dengan luasan lahan terbuka mencapai kurang lebih 1,15 hektare.
Perhitungan ini mengacu pada survei Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning (Unilak) tahun 2018, yang mencatat kerapatan rata-rata hutan produksi mencapai 104 pohon per hektare dengan volume sekitar 238 meter kubik per hektare.
“Dengan diameter pohon rata-rata 30 hingga 60 sentimeter dan estimasi kubikasi 2,5 meter kubik per pohon, maka 300 meter kubik kayu setara dengan sekitar 120 pohon. Dari kerapatan tersebut, lahan terbuka diperkirakan mencapai 1,15 hektare,” jelasnya.
Ironisnya, lokasi pembalakan liar ini hanya berjarak sekitar 7 kilometer dari Suaka Margasatwa Kerumutan, salah satu kawasan konservasi penting di Provinsi Riau.
Kayu diduga ditebang dari kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) di luar areal konsesi PT SPA, dengan jarak penebangan sekitar 2 kilometer dari titik penumpukan, berdasarkan temuan tunggul-tunggul pohon di lapangan.
Terkait penanganan barang bukti, KLHK mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, khususnya Pasal 44.
Aturan tersebut membuka peluang pemanfaatan kayu sitaan untuk kepentingan publik atau sosial, atau dilelang negara mengingat risiko kerusakan serta tingginya biaya penyimpanan.
“KLHK menegaskan komitmen untuk terus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum kehutanan, serta mendukung langkah tegas aparat penegak hukum dalam memberantas illegal logging yang mengancam kelestarian hutan dan ekosistem Riau,” tutupnya.