INHIL – Pasar tradisional di sejumlah titik Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) masih semrawut. Dari Pasar Kayu Jati Tembilahan, Pasar Pagi Tembilahan, hingga Pasar Sungai Salak, rata-rata menghadapi masalah serupa. Becek ketika hujan, berdebu ketika panas, penataan lapak pedagang tidak teratur, hingga sampah yang menumpuk.
Padahal, pasar-pasar tersebut menjadi nadi perekonomian masyarakat menengah ke bawah. Ironisnya, kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru sangat kecil. Dari data yang dihimpun Halloriau.com, pendapatan pasar yang dikelola Dinas Perdagangan dan Perindustrian
(Disperindag) Kabupaten Inhil hanya berkisar Rp250 juta per tahun.
Jika dibandingkan, angka ini sangat jauh tertinggal dari daerah tetangga. Data yang diperoleh Halloriau.com menunjukkan bahwa Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) mampu mengumpulkan PAD dari sektor pasar hingga lebih dari Rp1,2 miliar per tahun. Sementara Kabupaten Pelalawan mencatat pendapatan di atas Rp800 juta setahun.
            
Perbedaan ini makin mencolok karena Inhil memiliki wilayah yang lebih luas dengan 20 kecamatan dan populasi pedagang yang besar. Potensi pasar yang seharusnya bisa menopang PAD justru terkesan dibiarkan tidak terkelola dengan baik.
Sejumlah pedagang mengaku sudah bosan dengan kondisi pasar yang tak kunjung berubah. Y (43), pedagang sayur di Pasar Kayu Jati, menuturkan bahwa pungutan retribusi terus berjalan, namun kenyamanan pasar tak pernah dirasakan.
"Tolong perhatikan kami. Retribusi tetap kami bayar, tapi hasilnya apa?" keluhnya, Minggu (14/9/2025) pagi.
            
Kemudian warga Tembilahan yang enggan disebut namanya menilai Disperindag Inhil lemah, seolah tidak serius.
"Dengan PAD cuma Rp250 juta setahun dari seluruh pasar, itu jelas terlalu kecil. Harusnya pasar bisa jadi mesin PAD, tapi kenyataannya hanya jadi beban. Disperindag seperti jalan di tempat," ujarnya.
Menanggapi sorotan ini, Kepala Disperindag Inhil, Nursal, melalui Plt Kabid Pasar, H Taharuddin. Ia tak menampik bahwa pendapatan pasar masih minim. Ia menegaskan angka Rp250 juta setahun memang benar adanya, berasal dari retribusi pasar yang dikelola langsung oleh Disperindag.
"Ya betul, sekitar Rp250 juta setahun. Itu akumulasi dari beberapa pasar yang dikelola  seperti Pasar Guntung, Teluk Pinang, Sungai Salak, Kayu Jati, Pasar Pagi, Pasar Terapung, hingga Dayang Suri," jelasnya.
            
Namun, ia menilai kecilnya PAD pasar bukan semata karena rendahnya pungutan retribusi, melainkan juga akibat kelembagaan pengelolaan yang belum kuat.
"Harus ada terobosan, kalau masih dikelola dengan sistem lama, sulit bagi PAD untuk meningkat signifikan," ujar H Taruddin.
Sejumlah kalangan menilai, masalah pasar tradisional di Inhil seharusnya bisa ditangani dengan serius.
Namun hingga kini, janji perbaikan hanya terdengar sebagai wacana. Sementara pedagang dan pembeli harus terus berhadapan dengan realita. Pasar yang semrawut, pelayanan minim, dan kontribusi PAD yang jauh dari harapan.
Kini publik menunggu, apakah Pemkab Inhil berani melakukan reformasi besar atau tetap bertahan dengan sistem lama yang hanya menghasilkan Rp250 juta per tahun.