DALAM membahas hukum fanatik terhadap mazhab, kita perlu memahami dua istilah kunci: fanatik (ta‘aṣṣub) dan mazhab. Keduanya sering digunakan dalam wacana keagamaan, tetapi sering disalahpahami hingga menimbulkan sikap berlebihan dalam beragama.
Secara bahasa, fanatik berarti keyakinan yang sangat kuat terhadap suatu pandangan hingga menolak pandangan lain. Dalam konteks agama, fanatik yang tercela adalah ta‘aṣṣub, yaitu membela pendapat seseorang atau kelompok tanpa dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam bentuk ekstrem, sikap ini bisa menjerumuskan kepada pengkultusan tokoh atau imam, seolah-olah mereka maksum (terjaga dari kesalahan). Padahal, kemaksuman hanya milik Rasulullah ﷺ.
Allah Ta‘ālā berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ...
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang berakal.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 190–191)
Ayat ini menunjukkan bahwa berpikir dan meneliti adalah ciri orang beriman. Islam tidak membenarkan sikap taklid buta yang menolak akal dan ilmu.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، فَإِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa kesesatan terjadi ketika ilmu dan ulama hilang bukan karena kurangnya fanatisme, tetapi karena umat meninggalkan ilmu dan dalil.
Kata mazhab (مذهب) berasal dari akar kata ذهب – يذهب – مذهبًا, yang berarti “jalan yang ditempuh.”
Dalam istilah fikih, mazhab adalah metode istinbāṭ hukum syar‘i yang dikembangkan oleh para mujtahid besar seperti Abū Ḥanīfah, Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad bin Ḥanbal.
Pada masa Rasulullah ﷺ dan Khulafā’ ar-Rāsyidīn, belum dikenal istilah “mazhab” sebagai kelompok hukum tertentu.
Mereka berpegang langsung kepada Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma‘ sahabat.
Istilah mazhab baru populer sekitar abad ke-4 Hijriah, ketika ulama membukukan metodologi ijtihad masing-masing imam. Namun, para imam tidak pernah bermaksud mendirikan mazhab untuk diikuti secara buta.
Para imam besar Ahlus Sunnah memiliki prinsip yang sama:
mengikuti dalil lebih utama daripada mengikuti pendapat siapa pun.
Beberapa pernyataan mereka yang terkenal:
Imam Abū Ḥanīfah rahimahullah berkata:
“Tidak halal bagi seseorang mengambil pendapat kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambilnya.”
(Ibn ‘Abdil Barr, Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm, 2/149)
Imam Mālik rahimahullah berkata:
“Setiap orang bisa diambil dan ditolak pendapatnya, kecuali penghuni kubur ini.” (sambil menunjuk ke makam Rasulullah ﷺ). (Ibn ‘Abdil Barr, Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm, 2/32)
Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullah berkata:
“Apabila hadits Nabi ﷺ sahih, maka itulah mazhabku.” (an-Nawawi, al-Majmū‘, 1/63)
Imam Aḥmad bin Ḥanbal rahimahullah berkata:
“Janganlah engkau taqlid kepadaku, kepada Mālik, asy-Syāfi‘ī, atau ats-Tsauri. Ambillah dari tempat mereka mengambil (yaitu dalil).” (Ibn al-Qayyim, I‘lām al-Muwaqqi‘īn, 2/302)
Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa para imam sendiri menolak fanatisme terhadap mazhab. Mereka hanya mengajak umat berpegang pada dalil yang sahih.
Ulama Ahlus Sunnah membedakan dua sikap:
Ittibā‘ (اتباع): mengikuti pendapat ulama berdasarkan dalil yang jelas.
Taqlīd (تقليد): mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui dalilnya.
Bagi orang awam yang tidak mampu berijtihad, taqlīd sementara kepada ulama yang terpercaya masih dibolehkan — selama tidak fanatik dan siap menerima kebenaran bila datang dalil yang lebih kuat.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah menjelaskan:
“Tidak boleh bagi siapa pun untuk fanatik terhadap seseorang dengan mendahulukannya di atas Rasulullah ﷺ. Segala pendapat yang menyelisihi sabda, perintah, atau larangan Nabi ﷺ harus ditolak.” (Majmū‘ al-Fatāwā, 20/221)
Imam asy-Syāṭhibī rahimahullah menambahkan:
“Fanatik terhadap mazhab tertentu akan menghalangi seseorang dari kebenaran dan menjerumuskannya dalam bid‘ah.” (al-I‘tiṣām, 2/201)
Dari dalil dan penjelasan para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Fanatik terhadap mazhab secara buta adalah perbuatan tercela dan bertentangan dengan manhaj Ahlus Sunnah.
Yang diwajibkan adalah ittibā‘, mengikuti ulama karena dalil, bukan karena nama mazhab.
Ulama adalah pembimbing menuju dalil, bukan pengganti dalil.
Jika pendapat seorang imam bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka yang wajib diikuti adalah dalil yang sahih.
Allah Ta‘ālā berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul (yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah).” (QS. an-Nisā’ [4]: 59)
Dan Allah memuji orang-orang berakal yang mengikuti kebenaran, bukan fanatisme:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“(Ialah) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal.” (QS. az-Zumar [39]: 18)
Daftar Rujukan Utama
Al-Qur’an al-Karim
Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim
Ibn ‘Abdil Barr, Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlih
Imam an-Nawawi, al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhażżab
Ibn Taimiyah, Majmū‘ al-Fatāwā
Ibn al-Qayyim, I‘lām al-Muwaqqi‘īn ‘an Rabbil ‘Ālamīn
asy-Syāṭhibī, al-I‘tiṣām
Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah