SELATPANJANG - Penglihatannya mungkin mulai kabur, keriput di wajahnya kian dalam, namun jemari Halijah tetap lincah menari di atas irisan bambu yang tajam, tak takut akan goresan tajamnya pisau dan irisan bambu yang diirisnya setiap waktu. Di tangannya, sembilu tak lagi jadi luka, tapi harapan—meski kecil, tetap utuh.
Pisau mungil di genggamannya bergerak cekatan, mengiris bambu-bambu muda menjadi helai tipis, lalu dianyam menjadi keranjang atau wadah sederhana lainnya. Dalam sehari, ia bisa menghasilkan olahan bambu berupan bakul dan bentuk lainnya lebih dari satu.
Di sudut Dusun Manggis atau yang lebih dikenal dengan sebutan lamanya, Dusun Tanah Kuning, Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti—perempuan-perempuan paruh baya dan lansia seperti Halijah masih setia menjalani tradisi. Mereka duduk di beranda rumah-rumah kayu, menganyam hidup dari sepotong demi sepotong bambu yang tak lagi semuda mereka. Satu demi satu hasil karya lahir dari tangan yang telah banyak melewati musim dan waktu.
Nenek Halijah, kini berusia 81 tahun, sudah akrab dengan anyaman sejak kecil. Ia sendiri sudah menekuni anyaman bambu sejak berusia muda, belajar dari orang tuanya.
“Waktu kecil saya diajarkan menganyam oleh orang tua. Kalau tidak pandai, saya bisa dipukul. Dulu orang tua kita begitu, karena takut kami tak punya keahlian dan akhirnya tidak bisa bekerja,” ucapnya, mengenang dengan tawa kecil yang menyimpan getir masa lalu.
Setiap hari, meskipun ia masih bisa menghasilkan satu atau dua keranjang bambu. Tapi di balik semangat itu, terselip satu kekhawatiran, dimana tak ada satu pun dari lima anaknya yang mewarisi keahliannya.
“Mereka tidak mau belajar. Saya pun tak memaksa, apalagi memukul seperti dulu. Zaman sudah berubah,” ucapnya pelan. Ada nada kecewa yang disembunyikan, tapi juga ada penerimaan dalam tatapan matanya.
Kini, sembilu bukan hanya sebilah bambu tajam, tapi juga potongan-potongan waktu yang tak lagi kembali. Anyaman Halijah bukan sekadar kerajinan tangan, tapi narasi diam dari warisan budaya yang perlahan mulai ditinggalkan generasinya.
Hari mulai beranjak siang ketika kami melangkah lebih dalam ke jantung Dusun Manggis. Sepintas, suasana tampak tenang—nyaris sunyi. Tak banyak lalu-lalang, hanya sesekali terdengar bunyi burung dari rerimbunan pepohonan. Warga dusun ini banyak yang bekerja di hutan atau merantau ke luar daerah. Yang tersisa di rumah hanyalah para perempuan yang setia menunggu, menjaga rumah, dan menekuni anyaman bambu yang telah diwariskan turun-temurun.
Di balik kerajinan sederhana itu, hidup sebuah warisan yang mengikat masa lalu dan masa kini dalam tenunan penuh makna.
Di bawah naungan pohon manggis yang rindang, pandangan kami tertumbuk pada sosok perempuan paruh baya yang tampak sibuk di halaman belakang rumah kayunya. Jemarinya cekatan mengayun di antara bilah bambu, menyulapnya menjadi keranjang—yang oleh warga setempat disebut “ghage”—dan berbagai bentuk kerajinan lainnya.
Dialah Nurhayati. Di usianya yang telah menginjak 53 tahun, ia tetap setia menekuni kerajinan bambu. Tak tampak lelah di wajahnya, hanya ketekunan dan kesabaran yang terpahat dalam tiap gerak tangannya. Empat puluh tahun sudah ia menggeluti dunia anyaman, sejak usia 12 tahun. Dan sejak 23 tahun lalu, saat sang suami berpulang, bambu-bambu itu menjadi tumpuan hidupnya, menjadi tulang punggung yang menyekolahkan dan membesarkan anak-anaknya.
Nurhayati sendiri membuat barang-barang dari anyaman bambu ini dengan cara otodidak. Memang awalnya coba-coba. Setelah mahir, dia terus membuatnya sampai sekarang
"Saya mulai belajar menganyam umur 12 tahun sampai umur saya sekarang sudah 53 tahun, kalau kurang paham maka tangan pasti terluka terkena sembilu. Sudah 23 tahun ditinggal suami yang meninggal dunia, jadi ini menjadi pekerjaan tetap untuk anak sekolah dan dari pekerjaan inilah yang membesarkan anak kami," tuturnya sembari terus mengayunkan sembilu.
Tak mudah. Ketika awal belajar, luka di tangan jadi teman akrab. “Kalau salah, tangan pasti terluka kena sembilu,” tambahnya pelan. Tapi luka itu bukan alasan untuk berhenti. Justru dari bilah bambu yang tajam itu, Nurhayati menemukan cara bertahan.
Kini, ia bekerja sendirian. Anaknya yang tinggal bersamanya tidak meneruskan keahlian itu. Seperti halnya nenek Halijah, kekhawatiran akan punahnya tradisi ini sesekali menyelinap dalam benaknya. Namun ia tetap menjalani apa yang ia bisa: menyulam kehidupan lewat irisan bambu.
Dari hasil kerajinannya, ia mendapatkan penghasilan yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. “Kalau keranjang besar bisa dijual Rp 35 ribu, yang kecil Rp 5 ribu. Sehari kadang bisa dapat Rp 80 ribu, itu sudah bersih setelah beli buluh seharga Rp 2 ribu per batang,” jelasnya dengan nada syukur.
Nurhayati juga mengenang masa kecilnya, ketika orang tuanya memaksa bahkan memukul jika ia enggan belajar menganyam.
“Dulu, kalau tak mau belajar, orang tua marah. Tapi niat mereka baik, takut kami tak bisa bekerja nanti,” ucapnya sambil tersenyum, meski tampak getir.
Kini, di tengah sepinya dusun, di antara keripik daun bambu yang berjatuhan, Nurhayati masih menyulam kehidupan. Bukan hanya demi bertahan, tapi agar warisan leluhur itu tak sekadar menjadi kenangan.
Waktu seolah berjalan lambat di Dusun Cempedak, yang lebih dikenal masyarakat sebagai Tanah Kuning. Sebuah dusun kecil yang berada di Desa Bokor yang dihuni oleh sekitar 180 kepala keluarga, tempat ini menyimpan warisan budaya yang perlahan menipis—kerajinan anyaman bambu.
Namun, perjalanan mempertahankan tradisi ini tak semudah dulu. Saat ini, bahan baku berupa bambu tak lagi mudah didapatkan. Warga harus membelinya karena tunas-tunas bambu muda, yang seharusnya tumbuh menjadi batang, justru lebih dulu dimakan oleh sapi peliharaan warga. Kondisi ini membuat produksi kerajinan menjadi lebih berat, baik dari sisi tenaga maupun biaya.
Dahulu, dusun ini pernah berjaya. Dua perusahaan besar bergerak di bidang kayu olahan, Golden Bintangor dan Uniseraya, berdiri megah dan menyerap banyak tenaga kerja. Bukan hanya warga lokal, bahkan pendatang dari Pulau Jawa pun datang dan tinggal di sini, menciptakan denyut ekonomi yang hidup dan ramai. Namun semua itu kini tinggal kenangan. Seiring waktu, perusahaan tutup, dan aktivitas di dusun menjadi jauh lebih senyap.
Meski begitu, semangat warga untuk tetap bertahan tak pernah padam. Di antara keterbatasan, perempuan-perempuan tangguh Tanah Kuning masih duduk di halaman rumah, tangan mereka terus bergerak menganyam bambu menjadi beragam peralatan rumah tangga. Ada ghage (keranjang), leko (nampan bulat dari anyaman), sayak (tudung saji), dan aneka bentuk kerajinan lainnya.
Bagi mereka, menganyam bukan hanya pekerjaan, tapi juga warisan yang perlu dijaga. Tradisi yang menenun kebanggaan pada akar budaya lokal, dan pada saat bersamaan menjadi sumber penghidupan. Kerajinan ini tak hanya mempertahankan khazanah negeri, tetapi juga menjadi penopang ekonomi warga setempat. Dari bambu-bambu yang dirangkai, lahirlah harapan-harapan sederhana untuk terus bertahan di tanah sendiri.
Kepala Dusun Cempedak, Sutrisno, menghela napas panjang saat berbicara soal tradisi ini. Baginya, anyaman bambu bukan sekadar pekerjaan, tetapi simbol kehidupan yang diwariskan turun-temurun. “Kalau dulu, hampir satu dusun mata pencahariannya sebagai perajin anyaman bambu. Tapi sekarang, tinggal hitungan jari,” ujarnya lirih.
Zaman memang berubah. Deru mesin dan tuntutan ekonomi mendorong banyak warga beralih profesi. Dari yang semula penganyam menjadi petani, karyawan, bahkan perantau. Namun, di antara jejak-jejak itu, masih ada segelintir jiwa yang memilih bertahan menjaga cerita dari helai-helai bambu yang mereka anyam sejak usia belia.
Para perajin, dengan tangan terampil, menenun cerita dan sejarah, menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Sutrisno menuturkan, hasil kerajinan dari Tanah Kuning masih diminati, bahkan telah dipasarkan ke ibukota kabupaten dan beberapa daerah lainnya. Namun keterbatasan promosi dan akses pasar membuat potensi ini belum optimal. “Mudah-mudahan ada pihak yang bisa bantu. Anyaman ini sudah jadi bagian hidup kami sejak lama,” tuturnya.
Ia tidak bicara soal keuntungan semata, melainkan nilai. Setiap anyaman menyimpan cerita—tentang kerjasama, ketekunan, dan cinta terhadap pekerjaan. Bambu yang digores dan dianyam itu bukan hanya produk, tapi pusaka budaya.
“Sayangnya, belum ada kaderisasi. Anak-anak muda kurang tertarik. Padahal kalau tak diwariskan, siapa yang akan melanjutkan?” keluhnya.
Sutrisno berharap pemerintah hadir, tidak hanya dengan kata-kata, tapi melalui pelatihan, pembinaan, dan dukungan pasar. Ia ingin generasi muda dilibatkan, diajarkan, dan diberi ruang agar warisan ini tak sekadar jadi pajangan sejarah.
“Kalau budaya ini hilang, kita kehilangan bagian dari jati diri kita sendiri. Semoga yang muda mau belajar, dan yang tua tetap diberi ruang untuk mengajarkan,” tukasnya.
Dusun Tanah Kuning, dengan segala keterbatasannya, masih menjaga denyut budaya dalam keheningan. Lewat anyaman bambu, mereka menenun waktu, menjaga ruh masa lalu agar tetap hidup di masa depan.
Bagi mereka, ada kebanggaan tersendiri atas warisan budaya yang terus hidup dan berkembang di tengah arus modernisasi. Mereka berdiri di garis depan, menyuarakan pentingnya menjaga dan merawat budaya lokal agar tak tergerus zaman
Di tengah arus modernisasi, upaya ini adalah langkah berarti untuk menjaga jati diri, mengingatkan kita bahwa budaya lokal adalah harta yang tak ternilai.
Melalui anyaman bambu, kita belajar tentang keindahan kesederhanaan. Setiap anyaman bercerita tentang kerjasama, ketelitian, dan cinta terhadap pekerjaan. Ini adalah pelajaran berharga yang sering terabaikan di tengah kesibukan sehari-hari.
Ia berharap pemerintah dapat memberikan dukungan berupa pelatihan dan akses pasar untuk menjaga keberlanjutan usaha dan tradisi ini.
Ia juga mengatakan perlunya kaderisasi agar generasi muda lebih aktif dalam mewarisi keahlian ini ke depannya.
“Dengan melibatkan generasi muda, kami berharap warisan budaya ini akan terus hidup dan berkembang,” tukasnya.
Penulis : Ali Imroen