SELATPANJANG - Suasana di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti mendadak menjadi sorotan. Hal itu karena memanasnya hubungan antara dua pucuk pimpinan pemerintahan yakni Bupati AKBP (Purn) H. Asmar dan Sekretaris Daerah, Bambang Suprianto SE MM.
Dalam sebuah dinamika internal yang akhirnya mencuat ke ruang publik, Bupati Asmar secara terbuka dan legowo meminta Bambang untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Sekretaris Daerah.
Permintaan itu bukan tanpa alasan. Bupati menyebut adanya disharmonisasi yang cukup dalam antara dirinya dan sang sekda—disharmonisasi yang dinilai sudah mengganggu ritme kerja birokrasi.
Bupati Asmar yang dikonfirmasi, Selasa (29/7/2025) membenarkan hal tersebut.
“Benar adanya. Ada dua pilihan saya terhadap Sekda, dimana ia diminta mundur atau cuti sementara waktu,” ujar Bupati Asmar saat dikonfirmasi wartawan.
Di tengah dinamika yang memanas, ada satu hal yang tetap dijaga oleh sang kepala daerah yakni kendali diri dan penghormatan terhadap aturan.
Meskipun merasa kecewa dan tersinggung atas sikap Sekda yang dianggap arogan menanggapi permintaannya, Bupati Asmar tak serta-merta mengambil langkah ekstrem. Ia tidak langsung menonaktifkan atau memecat Sekda. Sebaliknya, ia memberikan ruang dua pilihan yang masih dalam koridor kebijaksanaan.
“Saya ini juga paham aturan. Meski dalam keadaan emosi, saya tidak serta-merta main nonjob. Saya beri dua pilihan, itu bentuk toleransi saya,” ujar Asmar.
Sikap ini menjadi penanda bahwa dalam setiap gejolak birokrasi, tetap ada ruang untuk bijaksana. Bupati memahami bahwa kekuasaan bukan hanya soal perintah, tetapi juga soal memimpin dengan kesabaran, bahkan ketika rasa kecewa tengah membuncah.
Kisah ini bukan hanya tentang benturan dua tokoh penting di pemerintahan daerah. Ini juga cerita tentang batas kesabaran seorang pemimpin, dan bagaimana ia memilih jalan konstitusional meski dalam tekanan batin. Sebab di balik jabatan, tetap ada manusia yang berpikir, merasa, dan menjaga martabatnya sendiri.
Namun, yang membuat situasi kian rumit adalah respons Sekda Bambang. Alih-alih menanggapi dengan sikap legowo dan mengamini permintaan Bupati, ia justru merespons dengan nada yang menurut Bupati terkesan arogan.
Keputusan pun diambil. Untuk menjaga stabilitas roda pemerintahan, Bupati menunjuk Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Sudandri Jauzah, SH sebagai Pelaksana Harian (Plh) Sekda. Penunjukan ini dimaksudkan sebagai langkah sementara sembari menanti kejelasan lebih lanjut terkait status Bambang Suprianto.
Bambang sendiri bukan sosok baru. Ia dilantik menjadi Sekda pada masa pemerintahan Bupati nonaktif H. Muhammad Adil, tepatnya pada 3 Desember 2021 lalu. Sejak saat itu, ia berada di posisi strategis sebagai motor birokrasi, hingga akhirnya kini berada di tengah pusaran polemik.
Kisruh ini tentu menjadi ujian tersendiri bagi stabilitas pemerintahan di Kepulauan Meranti. Di tengah tantangan pembangunan dan tuntutan pelayanan publik yang tinggi, komunikasi dan keselarasan antar pucuk pimpinan seharusnya menjadi kekuatan utama. Namun ketika benturan kepentingan dan ego muncul ke permukaan, maka yang terancam bukan hanya jabatan, tapi juga kepercayaan publik.
Di Rumah Dinas Bupati Kepulauan Meranti di Jalan Merdeka, para pegawai harian masih bekerja seperti biasa. Ada yang memasak, mencuci, dan mengurus perabotan. Mereka bukan pegawai tinggi, namun kehadiran mereka penting bagi keseharian Bupati Asmar—layaknya roda kecil yang menjaga kelangsungan mesin besar.
Namun siapa sangka, dari sebuah permintaan sederhana terkait nasib mereka, badai politik justru mulai menggelora di tubuh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti.
Permulaan kisruh ini terungkap ketika Bupati AKBP (Purn) H. Asmar meminta Sekretaris Daerah, Bambang Suprianto, untuk mengakomodir pembayaran gaji para pegawai yang bekerja di rumah dinas. Sudah empat bulan mereka belum menerima upah. Namun bukannya mendengar dan mencari solusi, sang Sekda justru menolaknya dengan alasan administratif tertentu.
Asmar menilai permintaannya masih realistis, mengingat semua orang yang bekerja di rumah Dinas nya adalah orang-orang kepercayaannya sejak awal yang membantu segala kebutuhan, layaknya fasilitas seorang pemimpin. Dimana selama ini untuk membayarkan gaji mereka selama ini sejak menjabat Plt, merogoh sakunya sendiri.
“Permintaan saya ke Sekda itu wajar dan bukan juga untuk pribadi saya, tapi untuk orang-orang yang bekerja membantu saya setiap hari. Mereka bukan orang sembarangan—mereka sudah ikut saya sejak awal. Mereka tidak menuntut banyak, hanya ingin memenuhi kebutuhan hidup harian,” tutur Asmar, dengan nada kecewa namun tetap tegas.
Asmar tidak menampik jika ia lebih mempercayakan orang yang memiliki hubungan saudara untuk melayaninya di rumah Dinas.
Selama ini, Asmar mengakui bahwa gaji mereka ia tanggung sendiri dari uang pribadinya.
“Saya tidak pernah minta yang macam-macam. Tapi ini menyangkut hati nurani. Saya tidak bisa membiarkan orang-orang kepercayaan saya kelaparan, sementara mereka bekerja setiap hari membantu saya, mereka juga bukan untuk cari kaya, hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” lanjutnya.
Apa yang terlihat sebagai masalah administratif ternyata berakar pada relasi yang lebih dalam—tentang kepercayaan, loyalitas, dan rasa saling menghargai. Namun sayangnya, respons sang Sekda justru memperlihatkan gelagat lain. Asmar menyebut dirinya mulai merasa tidak nyaman sejak kejadian itu.
Kisah ini pun menjadi titik api dari kisruh yang makin meluas. Bupati Asmar akhirnya meminta Bambang Suprianto untuk mengundurkan diri atau mengambil cuti sementara.
Dalam pusaran dinamika kekuasaan, seringkali yang terselip adalah kisah-kisah manusia biasa. Seperti tukang masak, tukang cuci, dan tukang kebun di rumah dinas itu. Mereka mungkin tak punya jabatan, tapi justru dari kepedulian kepada mereka, kita bisa melihat sisi paling jujur dari seorang pemimpin.
Lebih mengejutkan lagi, ternyata hal serupa juga terjadi di rumah dinas Wakil Bupati yang berada di Jalan Dorak. Pegawai di sana juga tidak mendapatkan perhatian dari Sekda. Tidak ada langkah nyata untuk mengakomodir kebutuhan dasar mereka — seolah pekerjaan mereka tak terlihat, dan pengabdian mereka dianggap tidak penting.
Bupati Asmar merasa kecewa. Bukan karena keinginannya ditolak, tetapi karena prinsip kemanusiaan yang menurutnya seharusnya jadi dasar dalam menjalankan roda pemerintahan.
"Ini bukan soal fasilitas pribadi. Ini tentang menghargai orang-orang yang bekerja untuk mendukung jalannya pemerintahan, yang hidupnya bergantung dari pekerjaan itu. Apa salahnya membantu mereka?" ungkap Asmar dengan nada kecewa.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa dalam pemerintahan, bukan hanya program besar yang menentukan keberhasilan. Seringkali, justru sikap terhadap hal-hal kecil — seperti memperhatikan nasib para pekerja harian — yang mencerminkan kualitas kepemimpinan. Dan ketika hal kecil itu diabaikan, maka yang muncul bukan hanya kesenjangan, tetapi luka yang sulit sembuh.
Bambang Suprianto, Sekretaris Daerah yang kini menjadi pusat perhatian publik dan internal pemerintahan, saat dikonfirmasi via telepon menanggapi tekanan yang datang dari pucuk pimpinan dengan nada datar dan sikap yang tampak santai.
Permintaan Bupati AKBP (Purn) H. Asmar agar Sekda mengakomodir pembayaran gaji pegawai non-ASN yang bekerja di rumah dinas — termasuk tukang masak dan tukang cuci — menjadi titik awal ketegangan. Namun bagi Bambang, ini bukan semata soal kemauan pribadi atau tidak, melainkan soal regulasi yang tak bisa dikompromikan.
"Ini soal menabrak regulasi yang ditentang dan dilawan, dan aku tak mau itu. Saya tidak mau mengambil konsekuensi yang terjadi di belakang hari," kata Bambang, memilih bertahan pada prinsipnya.
Ketika Bupati menyodorkan dua pilihan — mundur dari jabatan atau cuti sementara waktu — Bambang tidak menggubrisnya secara frontal. Ia memilih diam dan mengambil keputusan sendiri.
"Terhadap hal itu, Bupati tidak ada memberikan pilihan kepada saya. Biar saja dia menyikapinya sendiri. Saya hanya mengambil sikap untuk cuti, sesuai dengan hak cuti tahunan yang diberikan selama 18 hari kerja di luar hari libur. Saya ingin menenangkan diri dan istirahat dulu di rumah di Batam," ujarnya.
Dalam pandangannya, persoalan pegawai rumah dinas adalah persoalan administrasi yang tak bisa dipaksakan. Menurutnya, para pegawai tersebut tidak masuk dalam sistem kepegawaian atau database resmi pemerintah daerah, sehingga tidak mungkin dibayarkan gajinya melalui APBD.
"Kalau ingin diakomodir, jalan satu-satunya adalah lewat skema outsourcing. Itu baru bisa," tegasnya.
Kisah ini menggambarkan benturan antara idealisme teknokrasi dengan realitas kebutuhan praktis seorang pemimpin daerah. Di satu sisi ada loyalitas dan pengabdian, di sisi lain ada aturan dan garis hukum yang membatasi gerak. Dan di tengah badai itu, publik menanti — siapa yang akan mengalah, dan apakah yang dikorbankan hanyalah rasa, atau justru kepercayaan?
Penulis : Ali Imroen