Oleh: Andy Indrayanto
Suci Sustari (46) terpekur diam. Matanya menerawang seraya menatap kursi di hadapannya yang kini tiada berisi lagi. Awal Maret 2025 lalu, kursi itu harus ditinggalkan salah satu karyawannya yang sepuh, Zulkifli (68), yang sudah bekerja padanya kurang lebih 4 tahun sampai akhir hayatnya. Almarhum Zulkifli meninggal akibat penyakit yang menggerogotinya seiring usianya yang sudah uzur.
"Sedih sekali saya saat mendengar kematian Pak Zulkifli. Saya kehilangan sosok pria yang walaupun sudah renta namun masih produktif dan mampu dalam pekerjaan," ungkap Suci Sustari pada penulis, pertengahan Oktober lalu.
Terbayang kembali perempuan pemilik Rumah Jahit Lestari (RJL) itu, saat-saat karyawannya yang sepuh itu masih bekerja ditempatnya. Dia mengenang saat almarhum Zulkifli bekerja di depan mesin jahit, saat karyawannya yang sepuh itu serius memutar-mutar pakaian setengah jadi yang akan dijahitnya pada lubang jarum. Kemudian ketika pedal mesin jahit berhenti sejenak, lalu diputarnya kain jahitan itu untuk mengepaskan bagian lengan yang akan dijahitnya dengan lubang jarum.
Dua meja jahit dari yang ditempati Almarhum Zulkifli, meja jahit Typical pernah ditempati karyawan inklusivitas lainnya, Juari (41) namanya. Karyawannya yang merupakan penyandang disabilitas itu mengundurkan diri tahun lalu karena telah membuka usaha jahit sendiri di rumahnya. Suatu hal yang menggembirakan bagi Suci jika karyawannya bisa mandiri bahkan memiliki usaha sendiri.
"Bagi saya, inklusivitas itu berbagi pada sesama tanpa memandang latar belakang, keyakinan atau kondisi mereka. Namun itu juga sepanjang mereka mau belajar, khususnya dalam hal menjahit," ujarnya.

(Almarhum Zulkifli (68), menjadi karyawan di RJL sampai akhir hayatnya sebagai bentuk inklusivitas yang diterapkan di usaha tersebut/foto-Andy)
Suci menceritakan ketika almarhum Zulkifli dan Juari saat masih menjadi karyawannya. Katanya, dengan usia almarhum yang sepuh saat bekerja di RJL dan bicara kuantitas dalam arti target produksi yang harus dicapai tiap hari, tentu tak terkejar dengan usia sepuh Almarhum Zulkifli. Tapi di RJL tak melulu bicara soal target produksi, tapi soal berbagi.
"Karena saya berpikir, RJL saat awal berdiri tidak semata-mata mengutamakan bisnis belaka tapi juga berbagi dengan lansia atau disabilitas, sehingga kita sedikit mengesampingkan bicara soal kuantitas," kata perempuan alumnus Universitas Sriwijaya ini.
Suci menjelaskan hal itu juga yang menjadi dasar dirinya dan suaminya mempertahankan Zulkifli sampai akhir hayatnya, meski lansia dan secara kuantitas tidak bisa memenuhi target produksi tetapi secara kualitas beliau masih memenuhi standar menjahit sesuai dengan standar RJL.
Penilaian seperti itu diberikan juga pada Juari, pemuda disabilitas asal Rohil untuk tetap bersama RJL sampai dia mengundurkan diri meskipun dari segi kecepatan produksi Juari tak memenuhi secara kuantitas.
"Meski saat ini kami tak memiliki karyawan yang inklusi seperti almarhum Zulkifli dan Juari, namun kami akan terus berkomitmen menerapkan inklusivitas di RJL ini," tuturnya, seraya menegaskan sepanjang orang tersebut mau belajar.
Suci ingat saat dia dan suaminya membuka RJL, komitmen konsep berbagi dan inklusivitas sudah ditanamkan dalam jiwa ibu yang memiliki enam putri ini. Karena itulah, saat pertama kali menerima order pesanan baju dari PT. Asia Petrocom Service (APS), Suci langsung melibatkan ibu-ibu yang berada di lingkungannya untuk turut membantu sehingga pesanan perdana itu bisa tercapai dengan hasil yang memuaskan.
Begitu juga pola kerjasama dia dengan suaminya dalam membangun usaha RJL. Mereka berbagi tugas dalam pekerjaan saat merintis usaha ini di awal-awal dulu sampai saat ini. Masih teringat dibenak Suci, bagaimana sang suami harus membawa dokumen-dokumen untuk melakukan penawaran agar perusahaan-perusahaan yang ada di Duri dan sekitarnya mau menjahit di RJL. Perjuangan belahan jiwa Suci itu takkan pernah hilang dari sejarah hidupnya, apalagi saat itu usaha yang dirintisnya belum merambah ke coverall atau pakaian anti api.
"Kami saat itu baru menjahit pakaian kantor saja, belum ke coverall," kata Suci, seraya menjelaskan alasan pembagian kerja dengan suami itu karena sang suami mantan HRD di perusahaan migas sehingga untuk komunikasi lebih bagus. "Jadi Bapak yang dulu menjadi marketing-nya di awal-awal RJL ini berdiri, dan suami berkeliling menawarkan pekerjaan menjahit ke tempat kami," ujarnya.
Kolaborasi berbagi inilah yang sampai kini terus ditanamkan Suci dalam mengelola RJL. Karyawannya yang kini berjumlah 84 orang, dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing membuat kolaborasi pekerjaan membentuk rangkaian harmoni yang utuh.
Sebagai bukti pemberdayaan masyarakat lokal dalam bingkai konsep berbagi dan inklusi ini, sejak berdirinya RJL, perempuan yang menginginkan putri sulungnya melanjutkan usahanya ini sudah membuka pelatihan menjahit gratis. Benar-benar tak berbayar! Tapi meski gratis pun tak semuanya mau atau tertarik
"Menjahit inikan jiwa, kalau passion-nya bukan ke sini, susah juga. Tapi dengan membuka pelatihan menjahit gratis ini, setidaknya saya ingin benar-benar memaksimalkan masyarakat lokal agar bisa memiliki keahlian minimal menjahit," tandasnya.
Namun diakuinya juga, membuka pelatihan menjahit pribadi membuat pihaknya terkendala karena tak bisa mengeluarkan sertifikat. Karena itu, dia mengajukan ke Dinas Tenaga Kerja agar RJL ini bisa sekaligus dijadikan LPK sehingga semua anak-anak yang ikut belajar menjahit gratis bisa memperoleh sertifikat menjahit.
Sampai saat ini, lanjutnya, RJL telah mempunyai sejumlah karyawan yang memiliki sertifikasi penjahit dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dengan sponsor PT. Pertamina Hulu Rokan.

(Juari, karyawan penyandang disabilitas saat masih bekerja di RJL tengah serius menjahit pakaian coverall pesanan. Juari saat ini sudah mengundurkan diri dari RJL dengan membuka usaha/foto-Andy)
Dia berharap dengan sertifikasi dari BNSP ini maka karyawannya bisa semakin kompetensi di bidangnya, selain tentu usahanya makin menunjukkan kualitasnya juga dalam diri penjahitnya terselip kebanggaan atas pengakuan profesinya.
Dalam perjalanan usahanya, RJL kini telah memiliki Kantor Cabang di Balam, Rokan Hilir. Bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), ada tiga desa dengan 20 penjahit yang menggawangi kantor RJL di sana. Duplikasi berbagi dan inklusi juga diterapkan di sana. Artinya, konsep berbagi dan inklusi telah menjadi peraturan tak tertulis di RJL.
"Itu juga yang kemudian membuat saya putuskan untuk membuka ruko satu lagi ini," Suci mengajak penulis menyambangi ruko barunya, yang hanya berjarak tiga ruko dari dua ruko miliknya yang berdampingan. "Ruko ini selain merupakan pengembangan usaha, tapi hakekatnya saya merasakan betul jika penjahit itu memiliki jiwanya masing-masing," katanya berfilosofi.
Artinya, sambungnya, ada penjahit yang jiwanya memang bisa membuat baju laki-laki namun keinginan untuk membuat baju perempuan terpendam. Dan itu termasuk dirinya sendiri. Jatuh-bangun di awal-awal pendirian RJL dan mencintai profesi barunya ini, membuat Suci secara sadar jadi suka mendesain baju. Coretan-coretan inilah yang kemudian dituangkan dalam bentuk pakaian jadi yang siap jual.
"Dan ruko ini saya anggap sebagai hobi yang tersalurkan. Saya suka mendesain baju, dan baju-baju yang dijual ini saya desain sendiri. Ternyata, banyak penjahit saya yang lebih menikmati menjahit baju perempuan daripada baju laki-laki, jadi saya maksimalkan dengan produk-produk sendiri," Suci memperlihatkan pakaian-pakaian yang semula hanya hasil goresan tangannya, kini telah mewujud menjadi pakaian wanita yang siap jual.
Transformasi Bisnis Lewat Inovasi, Keteguhan dan Kreativitas
Suci menghela napasnya, dan menghembuskannya pelan. Ditatapnya Jalan Hangtuah, Kota Duri, dimana kini dia membuka usaha Rumah Jahit Lestari sejak tahun 2021. Otaknya berputar sambil mengumpulkan serpihan-serpihan ingatan pahit dan manis, saat awal dia dan suaminya merintis usaha menjahit dari ketiadaan sampai kini berhasil menjadi mitra dari PT PHR WK Rokan dan ratusan perusahaan-perusahaan lain yang ada di Kota Duri.
"Usaha ini saya bangun benar-benar dari nol," ujar Suci, memulai kisah perjuangannya saat mendirikan RJL.
Cerita Suci lagi, dia tak pernah terpikir jika jalan hidupnya akan mengarahkannya menjadi seorang penjahit. Betapa tidak, saat memutuskan pindah ke Duri karena mengikuti pekerjaan suami, Suci yang sebelumnya disibukkan menjadi pengajar Bahasa Inggris di Universitas Bina Darma, Palembang, tiba-tiba saja harus menyandang pengangguran.
"Tak tahu saya harus berbuat apa, yang dulu sibuk mengajar tiba-tiba harus diam di rumah tanpa tahu apa yang harus dikerjakan. Masa-masa gamang dan tak mengenakkan bagi saya saat itu," ada nada sendu dalam kalimatnya barusan.
Tapi Suci tak mau menyerah pada keadaan apalagi kebutuhan hidup terus berjalan, ditambah lagi keenam anaknya masih membutuhkan biaya untuk sekolah. Otaknya terus berputar mencari peluang dan usaha di kota yang baru dengan suasana dan kondisi yang berbeda. Rumahnya yang berada di pinggir jalan dan kerap melihat lalu-lalang para pekerja PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) - perusahaan migas milik Amerika sebelum dialihkelola PT. PHR WK Rokan - membuat usaha menjahit melintas begitu saja dalam benaknya.
"Entah kenapa usaha menjahit itu yang terlintas. Padahal saya sebelumnya tak pernah menjahit baju hanya pekerjaan-pekerjaan kecil saja layaknya ibu-ibu yang lain, seperti menjahit baju yang sobek, memasang kancing, yang seperti itu. Memang saya suka coret-coret mendesain baju tapi belum pernah membuat baju," katanya seraya tertawa kecil, sehingga barisan giginya yang putih terlihat.
Pertanda selintas itu menimbulkan keyakinan yang kuat, dan itu secepatnya ditangkap Susi. Tiba-tiba saja dia memiliki keyakinan jika menjahit akan menjadi pilihan hidup berikutnya. Apalagi dia melihat di lingkungan sekitarnya banyak ibu-ibu yang akan bisa dikerahkan jika suatu saat mendapat pesanan dalam jumlah besar, begitu keyakinan Suci saat itu. Meski sedikit gambling, Suci lalu mencoba memasukkan proposal bantuan ke PT. CPI berupa mesin jahit.
"Niat saya begitu kuat campur gambling," derai tawanya keluar, saat mengingat kembali hal itu.
Namun ternyata, perlu waktu lama menyakinkan seorang karyawan PT. CPI bagian CSR, Priawansyah, agar bantuan yang dimintanya itu dipenuhi. Sisi lain, Priawansyah sendiri mengaku dirinya tak percaya dengan Suci Sustari saat itu. Ini diakui sendiri oleh Priawansyah yang kini menjabat sebagai Analysit Social Performance di PT. PHR WK Rokan.
"Bagaimana saya percaya? Waktu saya bagian CSR di PT. Chevron, sudah banyak bantuan yang kami gelontorkan ke masyarakat dan ribuan proposal yang masuk tapi tidak ada yang berkembang. Ini datang Bu Suci, ujug-ujug kasih proposal minta bantu usaha mesin jahit. Lha, bagaimana saya mau percaya, jadi saya tak pedulikan proposalnya," kata Priawansyah pada penulis. "Ada sekitar empat bulanan Bu Suci mengejar-ngejar saya untuk meminta bantuan," sambungnya seraya tertawa.
Tapi bantuan itu akhirnya diberikan juga pada Suci berupa lima (5) unit mesin yakni satu (1) unit mesin obras dan empat (4) mesin jahit portable serta dua gulung kain sebagai percobaan. Persoalan kembali muncul karena saat bantuan disetujui, Suci tak memiliki keahlian dalam menjahit. Itulah yang disebut niat Suci yang gambling tadi. Memasang kancing atau menjahit pakaian yang sobek, masih oke lah tapi membuat pakaian jadi yang menjadi niatnya berusaha, masih gelap dalam benaknya.
"Saya berpikir keras saat itu, bagaimana ini? Bantuan lima (5) mesin jahit sudah datang, kan tak mungkin saya sudah minta tapi tidak tanggung jawab? Jadi saya paksa belajar otodidak dari Youtube; dari membuat pola, menjahit, bikin baju, bikin celana dengan role model-nya suami dan anak-anak sendiri sampai akhirnya pas di badan mereka," kenangnya tersenyum.
Niat dan tekad yang kuat ditambah kerja keras memang akan menemukan momentumnya. Dirasa dirinya sudah bisa menjahit meski baru tingkat pemula, jalan keberuntungan mulai menghampiri Suci. Tiba-tiba datang pesanan dari PT. APS yang memesan 42 pieces dalam jangka waktu seminggu.
Suci tak kehilangan akal memenuhi pesanan itu, dia libatkan ibu-ibu dari sekitar lingkungannya sehingga pesanan itu bisa terpenuhi sesuai target.
"Pesanan pertama yang luar biasa, dan alhamdulillah saya bisa memenuhi tenggat yang diminta," kata Suci, seraya mengatakan bahwa dari pesanan pertama itulah relasinya dengan ibu-ibu penjahit mulai meluas.
Latar belakang sebagai seorang pendidik ternyata turut mempengaruhi pola pikirnya dalam usaha yang baru dirintisnya ini. Order pertama yang sukses membuat dirinya tak lekas puas, dia terus mengembangkan diri dan berpikir jika lima bantuan mesin jahit portable dirasanya belum memenuhi jika untuk menjahit pakaian perusahaan yang tebal-tebal, karena itulah kemudian dia beranikan membeli mesin sendiri.
"PT. Pertamina yang saat itu sudah mengambilalih PT. CPI, tentu kaget. Karena mesin saya bertambah, dari bantuan operator lama PT. CPI hanya lima kini bertambah 7 buah jadi semuanya 12 mesin jahit. Mungkin mereka tak menyangka usaha saya ini berkembang," kata Suci disambut senyum lebar Priawansyah.

(Para karyawan RJL dan anak magang yang tengah merapihkan jahitan logo perusahaan yang sudah terpasang/foto-Andy)
Di tahun 2022 tepatnya tanggal 24 Mei, satu tahun setelah bantuan operator lama PT. CPI, PT. PHE WK Rokan memberi bantuan berupa 12 unit mesin skala konveksi, bukan mesin kecil lagi tapi mesin besar. Itu bantuan penuh dari PT. Pertamina selain bantuan dalam bentuk dana yang tidak dikembalikan karena uang itu dipergunakan membeli kain.
Masa-masa sulit yang dialami Suci saat awal mengembangkan usaha Rumah Jahit Lestari (RJL)-nya, perlahan meredup seiring usahanya yang makin berkembang. Jejak-jejak perjalanan itu terekam dalam kertas karton yang terpasang di dinding atas salah satu ruko dari tiga ruko yang dimiliknya, berupa perusahaan-perusahaan yang memesan baju dan mitra RJL.
Dari mulai pertama pesanan PT. APS di tahun 2021 sampai Mei 2024, bahkan kini sudah ada sekitar 184 perusahaan yang telah menjadi mitra RJL. Tulisan di kertas karton ini seolah-olah menjadi saksi perjuangan usaha menjahit RJL yang dirintisnya dari nol, dari sebuah ruko yang disewanya di jalan kecil hingga berkembang menjadi tiga ruko.
Pelan namun pasti saat dirasa usahanya terus berkembang, Suci mulai membenahi tata kelola RJL dengan melengkapi berbagai legalitas perusahaan sehingga di tahun 2022 itu juga RJL sudah berbentuk Perseroan Terbatas.
Tujuannya agar RJL ke depan bisa ikut tender di perusahaan-perusahaan. Tak hanya legalitas administrasi perusahaan yang dilengkapi, bahkan untuk persyaratan pembuatan pakaian coverall atau pakaian anti api yang dibutuhkan perusahaan migas dia lengkapi semua.
"Bahkan saya harus keluar negeri mengurus persyaratan ini, karena memang untuk pakaian anti api ini kainnya harus bersertifikat National Fire Protection Association (NFPA), sertifikat lain kita juga punya yakni American Standar Textile Manufacture (ASTM) dari Balai Textile Bandung," terang perempuan yang bersuamikan Ketua DPP Laskar Riau Bersatu ini.
From Zero to Hero: Menjahit Asa dan Kemandirian Bersama Program TJSL PHR WK Rokan.
Senyum dan tawa Analyst Social Performance PT. PHR WR Rokan, Priawansyah, tak pernah lepas dari guratan bibirnya saat bercerita perjuangan Suci Sustari di awal-awal membuka usaha RJL. Bahkan tawa kebanggaan tak lepas dari bibirnya saat pria asal Aceh itu menceritakan kala dikejar-kejar Suci Sustari untuk meminta bantuan menjahit.
"Saya ini termasuk orang yang tak percaya dengan Bu Suci. Tapi Bu Suci ini memang luar biasa, dia begitu gigih sampai akhirnya kami berikan bantuan waktu masih operator lama. Kemudian lama tak jumpa, eh tahu-tahu usaha menjahitnya malah berkembang. Padahal sebelum-sebelumnya yang kami berikan bantuan tak berkembang," tawanya kembali keluar.
Priawansyah mengatakan, kemauan keras untuk belajar dan kegigihannya melihat peluang ditambah latar belakang pendidik yang dimiliki Suci adalah sebuah modal bagi dia untuk tak pernah berhenti belajar.
Ini terbukti saat Suci bisa memenuhi pesanan perdana yang diperolehnya. Dan saat beralih ke operator baru yakni PT. PHR WR Rokan, usaha Suci sudah mulai berkembang. Kegigihan Suci dalam mengembangkan KUB RJL meski dengan lima bantuan mesin jahit di awal usaha, hal itu yang membuat dirinya menjadi bangga. Satu lagi yang membuat Priawansyah kagum pada Suci adalah tingginya sifat berbagi dalam diri Suci.
"Bu Suci saya nilai tak pernah jumawa apalagi pongah, tak pernah merasa bahwa RJL yang sudah berkembang ini seolah-olah hasil kerja kerasnya sendiri. Justru saya menilai berkembangnya RJL ini karena Bu Suci benar-benar menanamkan nilai berbagi pada sesama, ini dibuktikan setiap Hari raya Iedul Fitri Bu Suci selalu memberi bingkisan pada anak-anak yang berada di lingkungan RJL," kata Priawansyah memuji pemilik RJL ini.
Dia menjelaskan, apalagi saat PT. PHR WK Rokan memberikan bantuan 12 unit mesin skala konveksi yang merupakan bantuan penuh dari Pertamina maka usaha Bu Suci makin berkembang pesat.
Sejak PHR membantu kelangsungan usahanya, pihak Pertamina selalu menyertakan RJL dalam tiap promosi atau kegiatan yang ditaja Pertamina seperti Expo, Festival, Pameran dan lain-lainya. Adanya promosi dari PHR ini membuat Usaha Rumah Jahit Lestari semakin berkembang dan maju pesat karena kredibilitas dan tingkat kepercayaan konsumen yang makin lebih tinggi.
"Bu Suci sudah menunjukkan bukti sebagai pengusaha yang tangguh, tahan banting, usaha yang dimulainya dari nol kini sudah berkembang dengan pesat. Perumpamannya bagi saya Bu Suci ini adalah seseorang yang dari bukan siapa-siapa menjadi figur yang berhasil, From Zero to Hero," puji Priawansyah jujur. Ada tekanan kalimat kebanggaan dalam ucapannya barusan.
Begitulah proses perjuangan Suci Sustari, pemilik KUB RJL yang begitu gigih dan berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya yang tertunda, saat putuskan pindah dari Palembang ke Duri. Takkan pernah terbersit dalam benaknya, jika kelak empat tahun kemudian saat dia mulai mengejar-ngejar Priawansyah untuk meminta bantuan usahanya, perlahan namun pasti mimpi itu terwujud secara perlahan.
Bagi seorang Suci Sustari, ternyata masih ada mimpi terbesar yang ingin dia wujudkan di RJL ini yakni bisa menjadi garment yang memproduksi coverall wearpack terbesar di Indonesia, sehingga bisa memberdayakan para penjahit dan kawan-kawan inklusi secara massal.
"Karyawan bisa mencapai ribuan orang dengan orang-orang inklusi di dalamnya, memiliki unit-unit usaha yang tersebar di seluruh titik operasi migas di Indonesia, hingga akan lebih banyak lagi masyarakat yang bisa lebih diberdayakan melalui RJL ini," matanya menerawang ke atas, seolah-olah selarik doa dan mimpinya melesat menuju langit.
Rumah Jahit Lestari yang dimiliki Suci Sustari adalah bukti nyata keberhasilan CSR dari sebuah program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang dijalankan PT. PHR WK Rokan dalam bidang ekonomi.
Ia mampu melejitkan Suci Sustari dengan RJL-nya melalui program TJSL PT. PHR WK Rokan, sebagai wujud mimpi dan asa perusahaan migas tersebut dalam mendorong inklusivitas dan masyarakat lokal di berbagai daerah, lalu menjadikan kolaborasi sebagai bagian dari upaya membangun kemandirian masyarakat.
Dan itu sama seperti mimpi seorang Suci Sustari dengan RJL-nya, yang ingin memberdayakan lebih banyak orang tanpa memandang perbedaan latar belakang, disabilitas, atau kondisi lainnya. Dengan Pertamina, mereka terus menenun kisah baru tentang sebuah harapan, kemandirian dan keberlanjutan yang tak pernah putus tanpa sekat. Semoga!***