DUA puluh lima tahun lalu, bangsa ini sepakat bahwa kekuasaan tak boleh lagi berpusat di Jakarta.
Otonomi daerah lahir dari luka panjang sentralisme Orde Baru sebuah janji bahwa kekuasaan dibagi, sumber daya diseimbangkan, dan rakyat di daerah diberdayakan.
Namun dua dekade kemudian, janji itu kembali digerogoti bukan oleh kekuasaan politik, melainkan oleh pena kebijakan fiskal.
Pemangkasan Terbesar dalam Satu Dekade
Dalam APBN 2025, pemerintah menetapkan Transfer ke Daerah (TKD) sekitar Rp 919,8 triliun.
Kementerian Keuangan mencatat, hingga semester I 2025, realisasinya baru Rp 400,6 triliun atau 43,5 persen dari pagu.
Namun untuk APBN 2026, pemerintah mengajukan penurunan TKD menjadi sekitar Rp 650 triliun, sebelum akhirnya disepakati naik sedikit menjadi Rp 693 triliun.
Artinya, tetap ada penurunan lebih dari Rp 220 triliun pemangkasan terbesar dalam satu dekade.
Pemerintah menyebut langkah itu sebagai bagian dari “penataan transfer berbasis kinerja.”
Namun di mata daerah, pemangkasan tetaplah pemangkasan.
Ruang fiskal yang sempit berarti ruang otonomi yang menyusut.
Padahal, Pasal 18, 23A, dan 23C UUD 1945 menegaskan hubungan keuangan pusat-daerah dijalankan atas asas keadilan dan keseimbangan.
Ketika pusat mengendalikan hampir seluruh instrumen fiskal, otonomi tinggal nama prosedur administratif tanpa makna substantif.
Paradoks Desentralisasi: Kewenangan Diakui, Sumber Daya Dikunci
Otonomi daerah bukan hadiah, melainkan hak konstitusional. Ia lahir dari kesadaran bahwa pembangunan tak bisa diseragamkan.
Namun kini muncul paradoks fiskal: kewenangan daerah diakui, tapi sumber dayanya dikunci.
Belasan gubernur dari Sumatera hingga Papua bahkan telah menemui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada awal Oktober 2025.
Mereka menyampaikan keberatan atas rencana pemotongan TKD 2026 yang dinilai tidak transparan dan berpotensi mengganggu pelayanan dasar.
Banyak yang mengingatkan: gaji ASN, tunjangan kinerja, dan program sosial bergantung pada transfer pusat.
Hubungan pusat-daerah pun kembali menyerupai pola patron–klien: pusat memberi, daerah menunggu.
Padahal semangat otonomi adalah kemitraan, bukan ketergantungan.
Dominasi Baru: Mengatur Daerah Lewat Anggaran
Dalam bahasa hukum tata negara, kondisi ini melahirkan sentralisasi gaya baru — penguasaan daerah lewat instrumen anggaran, bukan instruksi.
Padahal, keadilan fiskal adalah wujud nyata keadilan distributif: pajak dan penerimaan negara dibagi secara proporsional antara pusat dan daerah.
Roh ini terkandung dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat-Daerah (UU HKPD), yang menegaskan perlunya memperhitungkan kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal, dan kinerja layanan publik dalam menetapkan TKD.
Namun kenyataannya, kesenjangan fiskal makin lebar.
Daerah dengan PAD tinggi Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur masih bisa bernapas.
Sementara Aceh, Maluku, NTT, dan Papua Barat yang hidup dari transfer pusat mulai terengah-engah.
Ketika TKD dipotong, yang paling terpukul bukan pejabat, melainkan pelayan publik di garis depan:
guru honorer yang menunggu TPP, bidan puskesmas yang bergantung pada DAK kesehatan, hingga aparat desa yang gajinya tertunda.
Transfer Berbasis Kinerja: Rasional di Atas Kertas, Masalah di Lapangan
Kemenkeu memperkenalkan istilah baru: transfer berbasis kinerja.
Konsepnya, daerah dengan tata kelola baik akan mendapat insentif; yang dinilai buruk menerima lebih sedikit.
Secara teoretis rasional. Namun di lapangan, indikator kinerja tidak selalu mencerminkan realitas sosial ekonomi.
Penilaian sering bergantung pada data kementerian teknis yang tak sinkron dengan kondisi daerah.
Akibatnya, pusat menggunakan kebijakan fiskal untuk mengatur perilaku politik daerah.
Padahal, Pasal 18 UUD 1945 menjamin devolusi kekuasaan, bukan subordinasi.
Kontradiksi Belanja Pusat di Daerah
Lebih ironis lagi, ketika TKD dipangkas, belanja kementerian/lembaga di daerah justru meningkat.
Dalam rapat dengan DPR (September 2025), Menkeu menyebut alokasi program pusat naik dari Rp 900 triliun menjadi Rp 1.300 triliun.
Pemerintah menamakannya “penguatan peran K/L dalam pembangunan daerah.”
Namun bagi kepala daerah, itu terasa seperti pengambilalihan ruang kebijakan lokal.
Proyek-proyek jalan, jembatan, dan irigasi dirancang dari atas tanpa selalu selaras dengan rencana pembangunan daerah.
Kita kembali ke pola lama: pusat menentukan, daerah melaksanakan.
Bedanya, dulu pakai komando; kini pakai anggaran. Tapi maknanya sama kekuasaan yang terpusat.
Keadilan Fiskal sebagai Fondasi Otonomi
Kebijakan pemotongan TKD seharusnya melalui mekanisme transparan dan konsultatif.
UU HKPD menegaskan bahwa setiap kebijakan transfer wajib memperhatikan asas keadilan dan pemerataan.
Pemotongan tanpa dialog bertentangan dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) terutama asas transparansi dan partisipasi.
Akibatnya nyata: banyak daerah menunda program sosial, memangkas belanja pegawai, hingga menunda pembayaran tunjangan ASN.
Sebagian bahkan memotong TPP 2–5 persen, seperti yang terjadi di Provinsi Banten melalui APBD-P 2025.
Pemotongan yang lahir dari tekanan fiskal bukan pelanggaran disiplin bukanlah efisiensi, melainkan tanda krisis keadilan fiskal.
Menjaga Urat Nadi Otonomi
Otonomi daerah tidak bisa dijaga dengan pidato.
Ia memerlukan daya fiskal sebagai jantungnya.
Pemangkasan TKD tanpa dialog memotong urat nadi kemandirian daerah dan mengikis kepercayaan yang dibangun sejak reformasi.
Kita pernah belajar dari masa lalu: ketika semua kebijakan dan anggaran datang dari pusat, yang lahir bukan efisiensi, melainkan alienasi.
Rakyat di pinggiran menjadi penonton pembangunan yang dibiayai oleh pajaknya sendiri.
Kini sejarah itu mulai berulang lebih halus, tapi lebih berbahaya.
Dua Jalan Keluar
Pertama, redefinisi konsep kinerja.
Kinerja daerah bukan semata serapan anggaran, tapi kualitas layanan publik dan dampak sosial.
Daerah yang berinovasi harus mendapat insentif, bukan sekadar yang punya PAD tinggi.
Kedua, penguatan forum dialog fiskal.
Kebijakan TKD perlu dibahas secara partisipatif antara pemerintah pusat, DPR, dan asosiasi pemerintah daerah (Apkasi, Apeksi, ADPSI).
Tanpa dialog, hubungan fiskal akan selalu menjadi monolog dari pusat ke daerah.
Keadilan: Nafas dari Otonomi
Pemangkasan TKD bukan sekadar soal angka, melainkan soal kepercayaan.
Ketika pusat tak percaya daerah, dan daerah tak lagi percaya pada pusat, yang terjadi bukan efisiensi, melainkan keretakan konstitusional.
Negara kuat bukan karena semuanya dikendalikan dari pusat, tetapi karena daerah-daerahnya berdaya.
Otonomi adalah cara menjaga persatuan melalui keadilan.
Dan negara yang mengikis keadilan daerah, pada akhirnya, akan kehilangan keadilan untuk dirinya sendiri.
Firdaus Arifin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat