www.halloriau.com


BREAKING NEWS :
Ketua HMI Sumbagtera Dukung Skema Take on Product, Dorong Riau Mandiri Secara Fiskal
Otonomi
Pekanbaru | Dumai | Inhu | Kuansing | Inhil | Kampar | Pelalawan | Rohul | Bengkalis | Siak | Rohil | Meranti
 


Pemangkasan TKD: Cara Halus Pemerintah Pusat Mengebiri Otonomi Daerah
Kamis, 09 Oktober 2025 - 09:41:35 WIB
ilustrasi
ilustrasi

DUA puluh lima tahun lalu, bangsa ini sepakat bahwa kekuasaan tak boleh lagi berpusat di Jakarta.

Otonomi daerah lahir dari luka panjang sentralisme Orde Baru sebuah janji bahwa kekuasaan dibagi, sumber daya diseimbangkan, dan rakyat di daerah diberdayakan.

Namun dua dekade kemudian, janji itu kembali digerogoti bukan oleh kekuasaan politik, melainkan oleh pena kebijakan fiskal.

Pemangkasan Terbesar dalam Satu Dekade

Dalam APBN 2025, pemerintah menetapkan Transfer ke Daerah (TKD) sekitar Rp 919,8 triliun.

Kementerian Keuangan mencatat, hingga semester I 2025, realisasinya baru Rp 400,6 triliun atau 43,5 persen dari pagu.

Namun untuk APBN 2026, pemerintah mengajukan penurunan TKD menjadi sekitar Rp 650 triliun, sebelum akhirnya disepakati naik sedikit menjadi Rp 693 triliun.

Artinya, tetap ada penurunan lebih dari Rp 220 triliun pemangkasan terbesar dalam satu dekade.

Pemerintah menyebut langkah itu sebagai bagian dari “penataan transfer berbasis kinerja.”

Namun di mata daerah, pemangkasan tetaplah pemangkasan.

Ruang fiskal yang sempit berarti ruang otonomi yang menyusut.

Padahal, Pasal 18, 23A, dan 23C UUD 1945 menegaskan hubungan keuangan pusat-daerah dijalankan atas asas keadilan dan keseimbangan.

Ketika pusat mengendalikan hampir seluruh instrumen fiskal, otonomi tinggal nama prosedur administratif tanpa makna substantif.

Paradoks Desentralisasi: Kewenangan Diakui, Sumber Daya Dikunci

Otonomi daerah bukan hadiah, melainkan hak konstitusional. Ia lahir dari kesadaran bahwa pembangunan tak bisa diseragamkan.

Namun kini muncul paradoks fiskal: kewenangan daerah diakui, tapi sumber dayanya dikunci.

Belasan gubernur dari Sumatera hingga Papua bahkan telah menemui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada awal Oktober 2025.

Mereka menyampaikan keberatan atas rencana pemotongan TKD 2026 yang dinilai tidak transparan dan berpotensi mengganggu pelayanan dasar.

Banyak yang mengingatkan: gaji ASN, tunjangan kinerja, dan program sosial bergantung pada transfer pusat.

Hubungan pusat-daerah pun kembali menyerupai pola patron–klien: pusat memberi, daerah menunggu.

Padahal semangat otonomi adalah kemitraan, bukan ketergantungan.

Dominasi Baru: Mengatur Daerah Lewat Anggaran

Dalam bahasa hukum tata negara, kondisi ini melahirkan sentralisasi gaya baru — penguasaan daerah lewat instrumen anggaran, bukan instruksi.

Padahal, keadilan fiskal adalah wujud nyata keadilan distributif: pajak dan penerimaan negara dibagi secara proporsional antara pusat dan daerah.

Roh ini terkandung dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat-Daerah (UU HKPD), yang menegaskan perlunya memperhitungkan kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal, dan kinerja layanan publik dalam menetapkan TKD.

Namun kenyataannya, kesenjangan fiskal makin lebar.

Daerah dengan PAD tinggi Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur masih bisa bernapas.

Sementara Aceh, Maluku, NTT, dan Papua Barat yang hidup dari transfer pusat mulai terengah-engah.

Ketika TKD dipotong, yang paling terpukul bukan pejabat, melainkan pelayan publik di garis depan:
guru honorer yang menunggu TPP, bidan puskesmas yang bergantung pada DAK kesehatan, hingga aparat desa yang gajinya tertunda.

Transfer Berbasis Kinerja: Rasional di Atas Kertas, Masalah di Lapangan

Kemenkeu memperkenalkan istilah baru: transfer berbasis kinerja.

Konsepnya, daerah dengan tata kelola baik akan mendapat insentif; yang dinilai buruk menerima lebih sedikit.

Secara teoretis rasional. Namun di lapangan, indikator kinerja tidak selalu mencerminkan realitas sosial ekonomi.

Penilaian sering bergantung pada data kementerian teknis yang tak sinkron dengan kondisi daerah.

Akibatnya, pusat menggunakan kebijakan fiskal untuk mengatur perilaku politik daerah.

Padahal, Pasal 18 UUD 1945 menjamin devolusi kekuasaan, bukan subordinasi.

Kontradiksi Belanja Pusat di Daerah

Lebih ironis lagi, ketika TKD dipangkas, belanja kementerian/lembaga di daerah justru meningkat.

Dalam rapat dengan DPR (September 2025), Menkeu menyebut alokasi program pusat naik dari Rp 900 triliun menjadi Rp 1.300 triliun.

Pemerintah menamakannya “penguatan peran K/L dalam pembangunan daerah.”

Namun bagi kepala daerah, itu terasa seperti pengambilalihan ruang kebijakan lokal.

Proyek-proyek jalan, jembatan, dan irigasi dirancang dari atas tanpa selalu selaras dengan rencana pembangunan daerah.

Kita kembali ke pola lama: pusat menentukan, daerah melaksanakan.

Bedanya, dulu pakai komando; kini pakai anggaran. Tapi maknanya sama kekuasaan yang terpusat.

Keadilan Fiskal sebagai Fondasi Otonomi

Kebijakan pemotongan TKD seharusnya melalui mekanisme transparan dan konsultatif.

UU HKPD menegaskan bahwa setiap kebijakan transfer wajib memperhatikan asas keadilan dan pemerataan.

Pemotongan tanpa dialog bertentangan dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) terutama asas transparansi dan partisipasi.

Akibatnya nyata: banyak daerah menunda program sosial, memangkas belanja pegawai, hingga menunda pembayaran tunjangan ASN.

Sebagian bahkan memotong TPP 2–5 persen, seperti yang terjadi di Provinsi Banten melalui APBD-P 2025.

Pemotongan yang lahir dari tekanan fiskal bukan pelanggaran disiplin bukanlah efisiensi, melainkan tanda krisis keadilan fiskal.

Menjaga Urat Nadi Otonomi

Otonomi daerah tidak bisa dijaga dengan pidato.

Ia memerlukan daya fiskal sebagai jantungnya.

Pemangkasan TKD tanpa dialog memotong urat nadi kemandirian daerah dan mengikis kepercayaan yang dibangun sejak reformasi.

Kita pernah belajar dari masa lalu: ketika semua kebijakan dan anggaran datang dari pusat, yang lahir bukan efisiensi, melainkan alienasi.

Rakyat di pinggiran menjadi penonton pembangunan yang dibiayai oleh pajaknya sendiri.

Kini sejarah itu mulai berulang lebih halus, tapi lebih berbahaya.

Dua Jalan Keluar

Pertama, redefinisi konsep kinerja.

Kinerja daerah bukan semata serapan anggaran, tapi kualitas layanan publik dan dampak sosial.

Daerah yang berinovasi harus mendapat insentif, bukan sekadar yang punya PAD tinggi.

Kedua, penguatan forum dialog fiskal.

Kebijakan TKD perlu dibahas secara partisipatif antara pemerintah pusat, DPR, dan asosiasi pemerintah daerah (Apkasi, Apeksi, ADPSI).

Tanpa dialog, hubungan fiskal akan selalu menjadi monolog dari pusat ke daerah.

Keadilan: Nafas dari Otonomi

Pemangkasan TKD bukan sekadar soal angka, melainkan soal kepercayaan.

Ketika pusat tak percaya daerah, dan daerah tak lagi percaya pada pusat, yang terjadi bukan efisiensi, melainkan keretakan konstitusional.

Negara kuat bukan karena semuanya dikendalikan dari pusat, tetapi karena daerah-daerahnya berdaya.

Otonomi adalah cara menjaga persatuan melalui keadilan.

Dan negara yang mengikis keadilan daerah, pada akhirnya, akan kehilangan keadilan untuk dirinya sendiri.

Firdaus Arifin 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

Sumber: Kompas


Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda)


BERITA LAINNYA    
Ketua HMI Badko Sumbagtera, Gopinda Aditya.(foto: barkah)Ketua HMI Sumbagtera Dukung Skema Take on Product, Dorong Riau Mandiri Secara Fiskal
Walikota Pekanbaru, Agung instruksikan pengawasan ketat untuk program MBG (foto/int)
 Pemko Pekanbaru Perketat Pengawasan Program MBG, Evaluasi Terus Dilakukan
HW Live House menegaskan kegiatan sesuai izin, siap kooperatif dengan Pemprov Riau (foto/Tata)Warga Protes HW Live House Bising, Ini Kata Manajemen
BYD M6 hadir di Mal LW Pekanbaru, tawarkan kenyamanan dan efisiensi hingga 530 Km sekali cas (foto/Fitri)BYD Astra Pekanbaru Pamerkan Fitur Blade Battery Unit BYD M6 di LW Pekanbaru
Potongan hingga jutaan rupiah, Capella Honda Riau hadirkan program OMG (foto/ist)Diskon Hingga Jutaan Rupiah, Capella Honda Hadirkan Program OMG
  Bukan Pulau Burung, Pemprov Riau siapkan lahan pengganti untuk warga TNTN (foto/tribunpku)Ribuan Warga Sekitar TNTN Tak Direlokasi Jauh, Pemprov Riau Siapkan Lahan Pengganti
Gol Reyhan Firdaus bungkam Sriwijaya FC, PSPS raih tiga poin pertama (foto/IG PSPS)Reyhan Jadi Pahlawan, PSPS Raih 3 Poin Perdana Usai Kalahkan Sriwijaya FC
Penutup besi drainase pedestrian di sepanjang Jalan Thamrin, Kota Pekanbaru raib dicuri (foto/Yuni)Besi Penutup Drainase Marak Dicuri, Warga Pekanbaru Minta Patroli Diperketat
Nekat keluarkan izin HW Live House, Gubri Abdul Wahid (kanan) copot Plt Kadispar Riau, Ade Yudhistira (foto/int)Buntut Keluarkan Izin HW Live House, Gubri Copot Plt Kadispar Riau
Perayaan HUT ke-26 Kuansing dibuka dengan Pacu Jalur selama 3 hari di Tepian Narosa. (Foto: Ultra Sandi)Sempena HUT ke-26 Kuansing, 75 Jalur Resmi Berlaga di Festival Pacu Jalur Tepian Narosa
Komentar Anda :

 
 
 
Potret Lensa
Konsolidasi Kesiapsiagaan Personel dan Peralatan Pengendalian Kebakaran Hutan di Riau dan Sumbar
 
 
Eksekutif : Pemprov Riau Pekanbaru Dumai Inhu Kuansing Inhil Kampar Pelalawan Rohul Bengkalis Siak Rohil Meranti
Legislatif : DPRD Pekanbaru DPRD Dumai DPRD Inhu DPRD Kuansing DPRD Inhil DPRD Kampar DPRD Pelalawan DPRD Rohul
DPRD Bengkalis DPRD Siak DPRD Rohil DPRD Meranti
     
Management : Redaksi | Disclaimer | Pedoman Media Siber | Kode Etik Jurnalistik Wartawan | Visi dan Misi
    © 2010-2025 PT. METRO MEDIA CEMERLANG (MMC), All Rights Reserved