BENGKALIS - Penangkapan tiga penambang pasir tradisional asal Pulau Rupat oleh Direktorat Polisi Air dan Udara (Polairud) Polda Riau pada Senin (22/9/2025) lalu memicu gelombang keprihatinan dari masyarakat setempat.
Ketiganya diamankan sekitar pukul 04.00 WIB dini hari, lalu dibawa ke Mapolairud Polda Riau di Kota Pekanbaru pada pagi harinya.
Aliansi Masyarakat Peduli Adat (Ampat) Kecamatan Rupat menilai tindakan tersebut menimbulkan keresahan, sebab para penambang yang ditangkap merupakan masyarakat kecil yang selama ini menggantungkan hidup dari aktivitas tambang pasir tradisional.
“Mereka bukan pengusaha besar, hanya rakyat kecil yang menambang pasir untuk kebutuhan lokal membangun rumah warga, rumah ibadah, hingga kantor pemerintahan,” ujar Ketua Ampat, Suluki Rahimi.
Suluki menjelaskan, pasir yang diambil masyarakat tidak diperjualbelikan ke luar daerah, melainkan digunakan untuk kepentingan pembangunan di Pulau Rupat sendiri.
Menurutnya, sejak penangkapan tersebut banyak warga kehilangan mata pencaharian, sementara proyek-proyek pembangunan yang melibatkan tenaga lokal kini terhenti.
“Dari pasir itu banyak orang hidup, mulai dari buruh harian sampai tukang bangunan. Sekarang semuanya berhenti karena takut ditangkap,” tambahnya.
Sementara itu, pihak Polairud Polda Riau beralasan penangkapan dilakukan karena kegiatan tambang pasir tanpa izin resmi melanggar aturan hukum yang berlaku.
Namun Ampat menilai pendekatan hukum semata tidak menyelesaikan akar persoalan sosial masyarakat pesisir.
“Penambangan ini sudah dilakukan turun-temurun selama puluhan tahun, bahkan hampir seabad. Ini bagian dari tradisi masyarakat pesisir Rupat yang menggantungkan hidupnya pada alam,” tegas Suluki yang juga mantan Ketua Himpunan Pelajar Mahasiswa Rupat (HPMR) Pekanbaru 2004-2006, didampingi Sekretaris Ampat, Johari.
Suluki menegaskan, pada semangat Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Karena itu, pihaknya mendesak pemerintah daerah dan provinsi segera turun tangan mencari solusi yang adil bagi masyarakat penambang pasir.
“Kami tidak menolak aturan, tapi pemerintah seharusnya menghadirkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil. Jangan sampai masyarakat yang hanya ingin bertahan hidup justru dikriminalisasi,” ujar Suluki.
Menyikapi hal itu, Suluki meminta Pemerintah Kecamatan Rupat, Pemkab Bengkalis dan Pemprov Riau segera mengevaluasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam, terutama tambang pasir tradisional.
Serta, mendesak dibuatnya regulasi yang dapat mengatur pertambangan rakyat agar tetap legal namun tidak mematikan ekonomi masyarakat pesisir.
Selain itu, Suluki berharap aparat penegak hukum mempertimbangkan keringanan hukuman terhadap tiga warga Rupat yang kini masih ditahan di Polda Riau, dan kasus ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk menata kebijakan pengelolaan sumber daya alam secara lebih manusiawi dan berkeadilan.
“Persoalan ini harus menjadi perhatian serius semua pihak. Jangan sampai rakyat kecil yang berjuang untuk hidup justru menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak,” tutupnya.