YOGYAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memetakan sejumlah titik rawan terjadinya praktik gratifikasi dalam manajemen sumber daya manusia (SDM) aparatur sipil negara (ASN).
KPK menilai penguatan sistem pencegahan harus dimulai dari pemahaman risiko sejak tahap rekrutmen hingga pengelolaan kesejahteraan pegawai.
Direktur Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK, Arif Waluyo Widiarto menyampaikan, praktik rawan gratifikasi dapat muncul di hampir seluruh siklus manajemen ASN.
“Titik-titik rawan gratifikasi mulai dari rekrutmen, promosi jabatan, mutasi/rotasi pegawai, hingga pengelolaan kesejahteraan. KPK hadir untuk memperkuat sistem pencegahan,” ucap Arif.
Ia menegaskan, belum optimalnya penerapan sistem merit dalam proses rekrutmen dan promosi jabatan berpotensi menurunkan kinerja ASN dan membuka celah praktik korupsi.
Karena itu, menurutnya, penerapan manajemen SDM yang bersih, transparan, dan akuntabel merupakan kunci membangun birokrasi profesional.
Plt Direktur Penuntutan KPK, Joko Hermawan Sulistyo mengingatkan, praktik jual beli jabatan menjadi ancaman serius bagi reformasi birokrasi.
“Jual beli jabatan merusak sistem merit, bukan uang syukuran atau biaya jasa, melainkan suap/gratifikasi yang mencabut hak ASN berintegritas dan merusak tata kelola birokrasi,” tegas Joko.
Ia menjelaskan, praktik tersebut tergolong tindak pidana suap atau gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
KPK mendorong kolaborasi dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian PAN-RB, perguruan tinggi, serta pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan penguatan integritas ASN.
KPK berharap hasil pemetaan ini dapat menjadi panduan nasional dalam membangun birokrasi yang bersih.
Konsultan Pemetaan Kerawanan Gratifikasi KPK, Sari Wardhani mengungkapkan, terdapat delapan area krusial yang rawan memicu gratifikasi dalam manajemen ASN.
“Integritas tidak bisa hanya mengandalkan individu, namun perlu peran pemimpin aktif, sistem transparan, dan SDM terlindungi. Tiga simpul ini harus bekerja serempak,” ujar Sari.
Ia merinci delapan area tersebut meliputi proses rekrutmen, mutasi dan promosi, penilaian kinerja, pendidikan dan pelatihan (diklat), pengelolaan data, perencanaan kebutuhan pegawai, pengembangan karier, hingga penanganan pelanggaran disiplin.