PEKANBARU — Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) terus melanjutkan upaya pengamanan dan pemulihan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Riau. Penertiban difokuskan pada lahan yang saat ini dikuasai warga, sebagian besar digunakan untuk perkebunan kelapa sawit ilegal.
Komandan Satgas Garuda PKH, Mayjen TNI Dody Triwinarto, menegaskan bahwa operasi penertiban tidak akan berhenti. Namun, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan humanis.
“Apa pun ceritanya, penertiban tetap berjalan. Tidak tahu sampai kapan, tapi kami kerjakan perlahan. Jika ada oknum penghambat, kami akan laporkan ke Kapolda. Negara tidak boleh mundur. Ini sudah perintah dari Menhan,” ujar Dody dalam audiensi bersama Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI di Kantor Gubernur Riau, Kamis (10/7/2025).
Dody menegaskan bahwa pemerintah tidak berniat menyakiti rakyat dalam proses ini. Penertiban dilakukan untuk menyelamatkan kawasan hutan tropis yang menjadi habitat satwa langka, seperti gajah Sumatera dan harimau Sumatera, yang kini terancam punah akibat pembukaan lahan.
“TNTN adalah hutan tropis terbaik warisan dunia. Kalau tidak kita pulihkan sekarang, kapan lagi? Sudah 21 tahun kawasan ini dikuasai ribuan orang,” katanya.
Dody juga membantah memiliki kepentingan pribadi dalam misi tersebut.
“Saya tidak punya kepentingan pribadi. Ini murni untuk kepentingan negara dan rakyat,” tegasnya.
Dalam proses penertiban, Dody mengingatkan semua pihak untuk tidak memanfaatkan situasi dengan menyebar isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Ia mengakui bahwa sekitar 80 persen warga yang menguasai lahan di TNTN berasal dari luar Provinsi Riau, namun mereka tetap warga Indonesia yang harus dihormati.
“Jangan sampai penertiban ini diboncengi dengan isu SARA. Siapa pun yang tinggal di sini tetap warga Pak Gubernur. Ini soal penegakan hukum dan penyelamatan lingkungan, bukan soal identitas,” ucapnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Satgas PKH telah melakukan pemasangan plang sita dan blokade akses masuk ke kawasan TNTN sejak sebulan terakhir. Ribuan warga diminta pindah secara sukarela dan diberi waktu tiga bulan untuk meninggalkan kawasan.
Namun, sebagian warga menolak relokasi dengan alasan telah lama tinggal dan memiliki bukti pembelian lahan, meski kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak 2004, seperti yang dilansir dari kompas.(*)