PEKANBARU — Gelombang protes yang melanda berbagai daerah di Indonesia sejak 25 Agustus hingga 1 September 2025 menyisakan duka dan kemarahan. Menyikapi situasi ini, Koalisi Masyarakat Sipil Riau menggelar konferensi pers dan menyampaikan pernyataan sikap keras terhadap pemerintah dan aparat keamanan.
Dalam pernyataannya yang dibacakan di Pekanbaru, koalisi yang terdiri dari 25 organisasi sipil ini mengecam tindakan represif aparat kepolisian yang dinilai brutal dan melanggar hak asasi warga negara.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah penangkapan terhadap Khariq Anhar, mahasiswa Universitas Riau, Polda Metro Jaya.
“Proses penangkapan Khariq penuh kejanggalan dan tidak sesuai KUHAP. Ini adalah bentuk kriminalisasi yang menandai upaya sistematis pembungkaman kebebasan berekspresi rakyat,” ujar perwakilan YLBHI-LBH Pekanbaru dalam pernyataan bersama.
Koalisi mencatat sedikitnya 10 orang tewas selama aksi unjuk rasa berlangsung di sejumlah kota seperti Jakarta, Manokwari, Makassar, Solo, Yogyakarta, Tangerang, dan Semarang. Korban meninggal akibat berbagai insiden, mulai dari kekerasan aparat, tembakan gas air mata, kebakaran gedung DPRD, hingga dugaan penyiksaan.
“Ini adalah bukti nyata kegagalan negara dalam menjalankan tanggung jawab konstitusional untuk melindungi keselamatan rakyat,” tegas koalisi.
Presiden dan DPR Dikecam: Dialog Dibatasi, Rakyat Diabaikan
Tak hanya kepolisian, koalisi juga mengkritik keras sikap Presiden Prabowo Subianto yang dianggap tidak peka terhadap situasi krisis demokrasi. Alih-alih membuka ruang dialog dengan masyarakat, Presiden memilih menggelar rapat tertutup bersama elite politik, bahkan menyebut demonstrasi rakyat sebagai tindakan makar dan terorisme.
Sikap serupa juga ditunjukkan sejumlah anggota DPR RI yang dinilai arogan dan merendahkan aspirasi rakyat, terutama terkait tuntutan pembahasan sejumlah regulasi penting seperti RKUHP, UU TNI, UUCK, dan UU Masyarakat Adat.
Dalam sikapnya, Koalisi Masyarakat Sipil Riau mengajukan sejumlah tuntutan utama:
- Pembebasan tanpa syarat terhadap Khariq Anhar dan seluruh massa aksi yang ditangkap.
- Pencopotan Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan reformasi menyeluruh di institusi kepolisian.
- Pengusutan tuntas dan transparan atas kematian 10 orang selama gelombang aksi berlangsung.
- Penghentian tindakan represif aparat terhadap warga sipil dan demonstran.
- Pencabutan kewenangan militer (TNI) dalam urusan sipil.
- Percepatan legislasi undang-undang progresif seperti UU Keadilan Iklim, UU Masyarakat Adat, UU Anti-SLAPP, dan UU Perampasan Aset.
- Pembatalan rencana kenaikan gaji dan tunjangan DPR, yang dianggap tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi rakyat.
Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh 25 organisasi sipil di Riau, termasuk BEM Faperta UNRI, YLBHI-LBH Pekanbaru, AJI Pekanbaru, WALHI Riau, Jikalahari, Riau Women Working Group, serta sejumlah komunitas literasi, organisasi lingkungan, dan kelompok mahasiswa.
Mereka menegaskan komitmennya untuk mengawal kasus ini hingga tuntas, demi menjaga demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan sipil di Indonesia.