PEKANBARU — Delapan bulan masa kepemimpinan Walikota Pekanbaru Agung Nugroho dan Wakil Wali Kota Markarius Anwar kini mulai menuai sorotan. Meski baru memasuki periode awal pemerintahan, sejumlah tokoh masyarakat mulai memberikan catatan kritis atas arah kebijakan dan gaya kepemimpinan mereka—salah satunya datang dari Ketua Forum Pekanbaru Kota Bertuah (FPKB), Masril Ardi.
Dalam pernyataannya, Masril menyoroti konsistensi pasangan ini terhadap tagline “Kolaborasi” yang sejak awal digaungkan sebagai semangat pemerintahan baru. Ia menilai, kolaborasi sejati belum sepenuhnya terlihat dalam praktik pemerintahan sehari-hari, terutama dalam hal membangun komunikasi yang terbuka dan merangkul semua elemen masyarakat.
“Tagline kolaborasi jangan hanya jadi slogan kampanye. Kalau ingin benar-benar membangun Pekanbaru, maka kepemimpinan ini harus terbuka, inklusif, dan tidak eksklusif pada barisan pendukung saat Pilkada lalu,” tegas Masril, Selasa (26/8/2025).
Masril juga mengingatkan bahwa pasangan Agung–Markarius hanya didukung oleh sekitar 20 persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) saat Pilkada 2024. Artinya, secara politik, mereka belum sepenuhnya merepresentasikan mayoritas suara masyarakat Pekanbaru.
“Ini fakta yang tidak boleh dilupakan. Kepemimpinan ini harus mampu merangkul sisanya—80 persen warga yang mungkin berbeda pilihan, atau bahkan skeptis. Kalau tidak, akan sulit menciptakan kebijakan yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh seluruh warga kota,” ujar Masril.
Meski kritik disampaikan cukup tajam, Masril menegaskan bahwa ia bukan bagian dari kelompok oposisi. Sebaliknya, ia menyebut dirinya sebagai bagian dari barisan pendukung Agung Nugroho sejak awal perjuangan di Pilkada. Justru karena itu, ia merasa memiliki tanggung jawab moral untuk mengingatkan.
“Saya mendukung beliau sejak awal. Tapi mendukung bukan berarti membenarkan semuanya. Kita tetap harus kritis agar janji-janji kampanye benar-benar dilaksanakan. Dukungan tanpa kontrol bisa jadi bumerang,” katanya.
Menurut Masril, sebuah pemerintahan yang hanya mengandalkan loyalitas dari kelompok pendukung akan rentan terjebak pada politik balas jasa, yang justru menjauhkan pemerintah dari rakyat.
Delapan bulan memang bukan waktu yang panjang dalam masa jabatan lima tahun. Namun, Masril menilai periode ini cukup untuk memberikan sinyal kuat ke publik: apakah kepemimpinan Agung–Markarius akan bersifat partisipatif dan terbuka, atau eksklusif dan tertutup.
Beberapa janji kampanye yang kini menjadi sorotan publik seperti peningkatan infrastruktur perkotaan dan reformasi birokrasi dan pelayanan publik. Kemudian pemberdayaan ekonomi lokal dan UMKM, serta transparansi anggaran dan tata kelola pemerintahan.
“Kalau program-program besar ini ingin berhasil, maka pintu kolaborasi harus dibuka selebar-lebarnya. Tidak boleh takut merangkul yang dulu berbeda pilihan. Karena yang akan dikenang masyarakat bukan siapa yang dulu mendukung, tapi seberapa besar dampak nyata yang dirasakan,” tegasnya.
Delapan bulan pertama ini menjadi cerminan awal yang krusial—bukan hanya untuk mempertahankan kepercayaan dari 20% pemilih yang dahulu memberikan suara, tetapi juga dalam membangun legitimasi sosial dan politik dari masyarakat luas yang berharap akan hadirnya perubahan nyata di Kota Bertuah.
“Kami di masyarakat ingin melihat kerja nyata. Kalau tagline kolaborasi itu memang serius, buktikan dengan keberpihakan pada semua golongan. Karena membangun Pekanbaru tidak cukup dengan tim sukses saja,” tutup Masril.