JAKARTA - Abu Sufyan bin Al-Harits merupakan sosok sahabat Nabi Muhammad yang kisah hidupnya sarat dengan pelajaran iman dan keteguhan hati.
Sepupu sekaligus saudara sepersusuan Rasulullah ini awalnya dikenal sebagai penentang keras dakwah Islam, namun berakhir menjadi salah satu sahabat paling setia dan pejuang tangguh di jalan Allah.
Dalam Seri Ensiklopedia Anak Muslim 125 Sahabat Nabi Muhammad karya Mahmudah Mastur dijelaskan, Abu Sufyan bin Al-Harits adalah putra Al-Harits bin Abdul Muthalib, saudara Abdullah ayah Nabi.
Sejak kecil, ia tumbuh bersama Rasulullah dalam kasih sayang keluarga yang sama. Ia dikenal sebagai penunggang kuda ulung dan penyair yang piawai, sosok terpandang di kalangan Quraisy.
Namun, ketika Nabi Muhammad menerima wahyu pertama, Abu Sufyan justru menentangnya dengan keras. Sebagai penyair Quraisy, ia menggunakan kepiawaiannya untuk menyindir dan menghina Rasulullah.
Dalam Sirah 65 Sahabat Rasulullah karya Abdurrahman Ra’fat Al-Basya, disebutkan bahwa Abu Sufyan kerap melontarkan syair-syair pedas yang menyinggung Nabi dan kaum Muslimin.
“Lidahnya yang fasih menjadi senjata yang menyakiti hati Rasulullah,” tulis Al-Basya dalam karyanya.
Kebenciannya terhadap Nabi begitu mendalam hingga ia turut serta dalam berbagai upaya Quraisy melawan umat Islam. Namun hidayah Allah akhirnya menyapa hatinya.
Setelah lebih dari dua dekade berada di pihak musuh, Abu Sufyan memutuskan untuk memeluk Islam dengan penuh kerendahan hati.
Pertemuan Mengharukan dengan Rasulullah
Abu Sufyan bersama putranya, Ja’far, datang ke Madinah untuk bertemu Rasulullah SAW. Ketika berjumpa, ia merendahkan diri, namun Rasulullah berpaling dan enggan menyambutnya karena luka masa lalu yang mendalam. Ia mencoba mendekati Nabi dari berbagai arah, tetapi ditolak berulang kali.
Hingga akhirnya, setelah melihat ketulusan dan penyesalannya, Rasulullah bersabda:
“Tiada dendam dan tiada penyesalan, wahai Abu Sufyan.”
Kalimat tersebut menjadi titik balik hidupnya. Sejak itu, Abu Sufyan belajar wudhu, shalat, dan mengabdikan hidupnya untuk Islam. Ia menebus masa lalunya dengan keberanian dan kesetiaan di medan perang.
Kesetiaan di Perang Hunain
Salah satu momen paling heroik terjadi dalam Perang Hunain. Saat pasukan Muslim sempat terpukul mundur, Abu Sufyan tetap berada di sisi Rasulullah.
Dengan tangan kirinya ia menggenggam tali kendali kuda Nabi, sementara tangan kanannya menangkis serangan musuh.
Usai pertempuran, Rasulullah SAW bersabda,
“Siapakah ini? Oh, saudaraku Abu Sufyan bin Harits! Aku telah meridhaimu, dan Allah telah mengampuni dosa-dosamu.”
Ucapan itu membuat Abu Sufyan menangis haru. Sejak saat itu, ia hidup sederhana, memperbanyak ibadah, memperdalam Al-Qur’an, dan menjauhi kehidupan duniawi. Rasulullah bahkan pernah memujinya di hadapan Aisyah RA:
“Dialah anak pamanku, Abu Sufyan bin Harits. Ia yang pertama masuk masjid dan terakhir keluar. Pandangannya selalu tertuju ke tempat sujud. Dialah pemimpin para pemuda di surga.”
Akhir Kehidupan yang Penuh Keberkahan
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab RA, Abu Sufyan menggali sendiri kuburannya, seakan telah siap menjemput kematian. Tiga hari kemudian, ia wafat dengan penuh ketenangan.
Sebelum meninggal, ia berpesan kepada keluarganya:
“Jangan tangisi aku. Demi Allah, sejak aku masuk Islam, tidak ada satu pun dosa yang kuperbuat.”
Umar bin Khathab RA sendiri menyalatkan jenazahnya dengan air mata haru, mengenang sosok sahabat yang telah berubah dari pembenci menjadi pembela sejati Rasulullah.