JAKARTA - Kisah sahabat Rasulullah, Amr bin Al-Jamuh, menjadi teladan abadi tentang kekuatan iman yang mampu menembus keterbatasan fisik.
Tokoh terpandang dari Bani Salamah, salah satu kabilah besar kaum Anshar di Madinah ini, dikenal sebagai pemimpin berwibawa yang sangat dihormati kaumnya sejak masa jahiliyah.
Pada periode pra-Islam, Amr bin Al-Jamuh memegang teguh tradisi nenek moyang dan meyakini keberadaan berhala sebagai bagian penting dari kehidupannya.
Keyakinan itu begitu mengakar hingga menjadikannya figur sentral dalam menjaga kepercayaan masyarakatnya.
Namun, hidayah Allah perlahan mengetuk hatinya setelah mendengar ajaran tauhid yang dibawa Rasulullah.
Sejak memeluk Islam, hidup Amr bin Al-Jamuh berubah total. Ia menjelma menjadi muslim yang teguh dan pejuang sejati, meski memiliki keterbatasan fisik berupa kaki yang pincang.
Keislamannya tidak setengah-setengah, bahkan semakin kuat seiring bertambahnya usia.
Dalam buku Sirah 65 Sahabat Rasulullah karya Abdurrahman Ra’fat, diceritakan bahwa Amr bin Al-Jamuh adalah sahabat lanjut usia yang memiliki satu impian besar, meraih surga melalui kesyahidan.
Keterbatasan fisik tak pernah ia jadikan alasan untuk mundur dari perjuangan di jalan Allah.
Ia menanamkan nilai keberanian dan keimanan kepada anak-anaknya, mengajarkan bahwa kesetiaan kepada Allah harus berada di atas segalanya.
Ketika kabar Perang Uhud sampai ke Madinah, Amr bertekad ikut berangkat bersama para pemuda.
Anak-anaknya sempat menahan keinginan sang ayah. Mereka mengingatkan, kondisi fisik Amr yang renta dan pincang telah menggugurkan kewajibannya untuk berperang.
Namun, Amr menolak anggapan tersebut. Baginya, keterbatasan tubuh bukan penghalang untuk meraih ridha Allah.
“Demi Allah, kakiku yang pincang ini tidak akan menghalangiku untuk melangkah menuju surga,” tekad Amr sebagaimana diriwayatkan dalam berbagai kisah sirah.
Dengan keyakinan penuh, Amr bin Al-Jamuh mendatangi Rasulullah untuk meminta izin berjihad. Melihat ketulusan dan keteguhan niatnya, Rasulullah pun mendoakan kesyahidan baginya. Doa itu semakin menguatkan langkah Amr menuju medan laga.
Di Perang Uhud, Amr tampil di barisan depan. Dengan langkah pincang, ia mengangkat senjata sambil menyerukan kerinduannya kepada surga.
Putranya, Khallad, turut berjuang di belakangnya, menjaga ayah dan Rasulullah dari serangan musuh. Ayah dan anak ini menjadi simbol keberanian dan keteguhan iman yang luar biasa.
Hingga akhirnya, keduanya gugur sebagai syuhada. Amr bin Al-Jamuh wafat dengan hati penuh kepuasan karena berhasil menunaikan niat sucinya.
Rasulullah SAW kemudian bersabda,
“Setiap orang yang terluka di jalan Allah, kelak pada hari Kiamat lukanya akan mengalirkan darah yang warnanya seperti darah dan baunya seperti minyak kasturi,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kisah Amr bin Al-Jamuh hingga kini dikenang sebagai simbol pengorbanan, keberanian, dan keteguhan iman.
Ia membuktikan bahwa nilai seorang hamba di sisi Allah tidak diukur dari kesempurnaan fisik, melainkan dari ketulusan niat dan kesungguhan hati.
Semangatnya menjadi inspirasi bagi umat Islam agar tidak gentar menghadapi keterbatasan dan rintangan dalam berjuang menegakkan kebenaran.
Setiap langkah yang diiringi niat suci, sekecil apa pun, adalah jalan menuju surga.