www.halloriau.com


BREAKING NEWS :
Serangan Harimau Sumatera di Pelalawan, BBKSDA Riau Turunkan Tim Mitigasi ke TKP
Otonomi
Pekanbaru | Dumai | Inhu | Kuansing | Inhil | Kampar | Pelalawan | Rohul | Bengkalis | Siak | Rohil | Meranti
 


Dilematika Pak Ogah di Pekanbaru: Membantu atau Menghambat Arus?
Rabu, 30 Juli 2025 - 14:18:47 WIB
Pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Riau, Dr. Ir. Muchammad Zaenal Muttaqin ST, M.Sc (Sc), IPM.
Pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Riau, Dr. Ir. Muchammad Zaenal Muttaqin ST, M.Sc (Sc), IPM.

PEKANBARU - Sebagai ibu kota Provinsi Riau, Kota Pekanbaru telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dalam dua dekade terakhir. 

Jumlah penduduk telah meningkat dua kali lipat dari 500 ribu pada tahun 2000 hingga saat ini berjumlah lebih dari 1,1 juta orang.

Pertumbuhan ini tidak hanya ditandai oleh geliat pembangunan infrastruktur, meningkatnya arus urbanisasi, dan perluasan kawasan permukiman, tetapi juga oleh kompleksitas persoalan lalu lintas yang semakin terasa.

Salah satu wajah nyata dari kompleksitas tersebut adalah kemunculan sosok-sosok informal yang akrab kita kenal dengan sebutan "Pak Ogah".

Pak Ogah adalah istilah populer di masyarakat urban Indonesia untuk menyebut individu yang secara sukarela namun seringkali menuntut imbalan mengatur lalu lintas terutama pada lokasi putar balik atau U-turn serta persimpangan tidak bersinyal.

Nama pak Ogah berasal dari tokoh kartun anak-anak dalam acara televisi legendaris "Si Unyil" yang terkenal dengan ucapan "Ogah, ah!" dan kemalasan bekerja namun gemar menerima imbalan. Ironisnya, dalam konteks lalu lintas perkotaan, tokoh ini menjelma menjadi fenomena sosial yang nyata dan dilematis.

Fenomena Pak Ogah di Pekanbaru telah menjadi pemandangan umum di berbagai titik strategis: di putaran balik Jalan Tuanku Tambusai, Jalan HR Soebrantas, hingga di Jalan Sudirman yang merupakan jalan utama di Kota Pekanbaru. Mereka hadir bukan karena ada mandat resmi dari pemerintah, melainkan karena adanya permintaan "tersembunyi" dari para pengguna jalan yang merasa kesulitan dalam menghadapi keruwetan lalu lintas.

Kini, pertanyaannya adalah apakah kehadiran mereka memang betul membawa manfaat dalam mengurai kemacetan, atau justru menjadi penyebab tambahan dari kekacauan lalu lintas?

Antara Kebermanfaatan dan Kekacauan

Tak bisa dimungkiri bahwa dalam beberapa kasus, kehadiran Pak Ogah dirasakan membantu, terutama di lokasi-lokasi dengan tingkat kesulitan manuver tinggi atau pada jam-jam sibuk. Banyak pengendara, terutama sopir truk, mobil boks, atau bahkan pengendara pemula, merasa terbantu saat hendak menyeberang jalan besar, berbalik arah, atau keluar dari lokasi parkir tanpa hambatan.

Namun di sisi lain, kita juga harus mengakui bahwa sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengetahuan dasar tentang keselamatan lalu lintas, tidak memahami prinsip prioritas kendaraan, bahkan sering kali bertindak secara sewenang-wenang. Tak jarang mereka menyetop kendaraan dari arah yang sebenarnya memiliki prioritas, hanya untuk memberi jalan kepada kendaraan lain yang "dilayani" oleh mereka.

Dalam kondisi seperti ini, bukannya memperlancar, kehadiran Pak Ogah justru memperparah kemacetan dan meningkatkan risiko kecelakaan. Yang menjadi persoalan adalah bahwa praktik ini berlangsung dalam wilayah hukum publik, yaitu ruang lalu lintas jalan yang secara sah dikelola dan diatur oleh negara melalui lembaga seperti Dinas Perhubungan, Kepolisian, atau otoritas lalu lintas lainnya.

Maka, kehadiran Pak Ogah yang tidak memiliki kewenangan dan pelatihan resmi, sejatinya adalah bentuk perampasan kewenangan negara dan pembiaran terhadap ketidaktertiban yang berlangsung dalam aktivitas lalu lintas sehari-hari di kota ini.

Asal Muasal Sosial: Fenomena yang Tumbuh dari Kekosongan

Fenomena Pak Ogah di ruang-ruang lalu lintas perkotaan tidak muncul secara tiba-tiba, apalagi berdiri sendiri tanpa latar belakang. Ia bukanlah gejala yang lahir dari kehendak individu semata, melainkan merupakan produk dari serangkaian kondisi sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang saling berkaitan dan belum sepenuhnya terpenuhi.

Dalam konteks Pekanbaru, dan kota-kota besar lain di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana pertumbuhan kendaraan dan intensitas pergerakan manusia melaju begitu cepat, sementara kapasitas institusi yang bertanggung jawab atas pengelolaan lalu lintas tertinggal jauh di belakang.

Keterbatasan jumlah petugas di lapangan, keterlambatan pembangunan infrastruktur pendukung seperti traffic light, marka, dan rambu, serta lemahnya integrasi perencanaan lintas sektor telah menciptakan celah-celah sistem yang rentan di berbagai titik.

Ketika pemerintah kota Pekanbaru, dalam hal ini belum mampu menjangkau seluruh simpul-simpul kemacetan, terutama pada lokasi rawan konflik arus seperti simpang tak bersinyal, putaran balik, atau pintu keluar pusat keramaian, maka muncullah ruang kosong dalam tata kelola lalu lintas. Ruang kosong inilah yang kemudian secara alami diisi oleh aktor-aktor non-formal dari masyarakat. 

Kehadiran Pak Ogah menjadi wujud dari inisiatif masyarakat akar rumput untuk "mengatur" arus lalu lintas dengan caranya sendiri. Munculnya mereka bukan karena ada sistem rekrutmen atau pelatihan, melainkan karena ada kebutuhan praktis yang tidak dijawab oleh lembaga formal.

Namun, sayangnya inisiatif ini lebih cenderung bersifat pragmatis dan tidak dilandasi oleh pemahaman keselamatan, legalitas, atau prinsip rekayasa lalu lintas. 

Apa yang dilakukan oleh Pak Ogah sering kali bukan untuk menciptakan ketertiban arus secara menyeluruh, melainkan hanya demi kelancaran sesaat untuk segelintir pengguna jalan terutama yang bersedia memberi imbalan.

Bahkan, dalam banyak kasus, praktik ini berujung pada bentuk eksploitasi ruang publik, di mana pengendara "dipaksa" memberi uang atas layanan yang sebenarnya tidak diminta, tidak dijamin keamanannya, dan tidak memiliki dasar hukum.

Seiring waktu, kondisi ini berubah menjadi pola yang mengakar dan dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat, padahal secara substansi hal ini mencerminkan ketimpangan dalam pelayanan publik dan lemahnya kehadiran negara di bidang manajemen transportasi. 

Dari aspek sosial, sebagian besar Pak Ogah berasal dari kelompok masyarakat marginal: pengangguran, pekerja informal musiman, atau bahkan mereka yang pernah mengalami masalah sosial seperti putus sekolah atau migran urban tanpa keterampilan.

Di tengah minimnya lapangan kerja dan tekanan hidup di kota, menjadi Pak Ogah dipandang sebagai cara bertahan hidup yang "cepat dan instan". Mereka tidak perlu izin, tidak perlu modal besar, dan cukup bermodal tubuh dan keberanian untuk berdiri di tengah jalan. Situasi ini diperparah oleh sikap permisif masyarakat.

Banyak pengguna jalan yang, karena terburu-buru atau tidak ingin terlibat konfrontasi, dengan sukarela memberikan uang kepada Pak Ogah. Bahkan tidak sedikit yang menganggap kehadiran mereka adalah "jasa" yang pantas dihargai, walau secara hukum dan etika sebetulnya tidak demikian. Masyarakat terjebak dalam praktik transaksional yang merugikan tata kelola transportasi dalam jangka panjang.

Celah dalam Sistem dan Penegakan Hukum

Masalah utama dari fenomena Pak Ogah adalah lemahnya penegakan hukum. Meskipun secara yuridis keberadaan mereka tidak diakui, namun aparat seringkali tidak memiliki skema intervensi yang jelas. Penertiban biasanya bersifat sporadis, reaktif, dan hanya terjadi jika ada tekanan publik atau insiden kecelakaan.

Di sisi lain, Pemerintah Kota Pekanbaru juga belum memiliki sistem manajemen lalu lintas yang komprehensif untuk mengatur semua titik rawan konflik. Anggaran pengelolaan transportasi terbatas, jumlah petugas di lapangan tidak sebanding dengan luas wilayah, dan belum semua simpang dilengkapi dengan fasilitas pengatur lalu lintas seperti lampu lalu lintas, marka jalan, dan rambu yang fungsional.

Kekosongan inilah yang menjadi ruang subur bagi tumbuhnya praktik informal seperti Pak Ogah. Mereka menjadi "pelengkap tidak resmi" dari sistem transportasi yang cacat secara struktural.

Refleksi dan Jalan Keluar

Pemerintah Kota Pekanbaru bersama pemangku kepentingan harus mulai melihat fenomena ini secara strategis, bukan sekadar sebagai gangguan sesaat. Diperlukan intervensi berbasis data dan kebijakan terintegrasi agar masalah ini tidak menjadi budaya yang membenarkan pelanggaran hukum.

Pertama, perlu dilakukan pemetaan titik-titik kemunculan Pak Ogah dan kategorisasi berdasar intensitas, waktu, dan jenis konflik lalu lintas. Dengan data ini, pemerintah dapat menyusun skema penanganan berbasis prioritas: mana yang perlu intervensi langsung (melalui penempatan petugas atau rekayasa lalu lintas), mana yang bisa diselesaikan melalui edukasi dan pelibatan komunitas.

Kedua, pemerintah harus mulai menawarkan program penyaluran kerja bagi mereka yang selama ini bekerja sebagai Pak Ogah. Misalnya dengan menyerap mereka sebagai tenaga pendukung Dinas Perhubungan dengan pelatihan dasar yang layak dan seleksi ketat. Kota Yogyakarta pernah melakukan pendekatan serupa, dengan melatih eks-Pak Ogah menjadi relawan lalu lintas di bawah pengawasan Dishub, walau dengan keterlibatan terbatas.

Ketiga, pendekatan teknologi perlu ditingkatkan. Kota-kota modern saat ini mengandalkan sistem area traffic control, smart traffic signal, dan CCTV berbasis analitik untuk mengatur arus lalu lintas. Jika hal ini diterapkan secara bertahap di Pekanbaru, maka kebutuhan akan "pengatur jalan bayangan" akan berkurang. Teknologi juga membuka ruang bagi partisipasi masyarakat melalui pelaporan digital dan sistem peringatan dini.

Keempat, masyarakat sebagai pengguna jalan harus diberikan edukasi tentang hak dan kewajiban mereka dalam berlalu lintas. Jangan biarkan rasa malas, terburu-buru, atau takut membuat kita menyerahkan hak keselamatan dan ketertiban kepada orang yang tidak memiliki legitimasi.

Simbol Gagalnya Sistem Perkotaan

Fenomena Pak Ogah adalah cerminan dari wajah transportasi kita yang rapuh. Ia bukan sekadar soal orang yang berdiri di simpang jalan, melainkan simbol dari gagalnya sistem transportasi yang tertib, manusiawi, dan berbasis hukum. Ia adalah tanda bahwa negara belum sepenuhnya hadir di ruang-ruang kritis perkotaan, dan masyarakat masih dibiarkan berimprovisasi dalam menghadapi tantangan mobilitas sehari-hari.

Jika Kota Pekanbaru ingin tumbuh sebagai kota modern dan berdaya saing, maka urusan lalu lintas harus ditempatkan sebagai prioritas. Penataan transportasi bukan sekadar urusan teknis, melainkan menyangkut martabat kota dan keselamatan warganya.

Maka, sudah saatnya kita menjawab pertanyaan mendasar itu: apakah Pak Ogah membantu atau menghambat arus? Jawaban yang jujur tentu akan membawa kita pada kesadaran bahwa kita butuh perubahan sistem, bukan sekadar mengganti pelaku.

- Tulisan ini dibuat oleh : Pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Riau, Dr. Ir. Muchammad Zaenal Muttaqin ST, M.Sc (Sc), IPM

 



Jika Anda punya informasi kejadian/peristiwa/rilis atau ingin berbagi foto?
Silakan SMS ke 0813 7176 0777
via EMAIL: redaksi@halloriau.com
(mohon dilampirkan data diri Anda)


BERITA LAINNYA    
Ilustrasi serangan harimau Sumatera di Pelalawan, BBKSDA Riau turunkan tim mitigasi ke lokasi (foto/int)Serangan Harimau Sumatera di Pelalawan, BBKSDA Riau Turunkan Tim Mitigasi ke TKP
Innova Zenix Hybrid.Toyota Catat 4.250 SPK di GIIAS 2025, Innova Zenix Hybrid Jadi Kontributor Terbesar
Pemko Pekanbaru tertibkan truk masuk kota (foto/MCR)Ini Daftar Jalan di Pekanbaru yang Dilarang Dilintasi Truk
Belantara Foundation dan mahasiswa Jepang hijaukan Riau lewat aksi tanam pohon (foto/ist)Peringati HKAN 2025, Pelajar Jepang Tanam Meranti di Taman Hutan Riau
Runding budaya dan wisata Indragiri di Mizu Coffee dihadiri Bupati Inhu Ade (foto/andri)Runding Budaya dan Wisata Indragiri di Mizu Coffee, Bupati Ade Ajak Hidupkan Ini
  Ilustrasi Pemkab Kuansing Rakor bahas pengelolaan retribusi parkir Festival Pacu Jalur 2025 (foto/MCRiau)Antisipasi Kebocoran Retribusi Parkir di Festival Pacu Jalur, Pemkab Kuansing Libatkan Pihak Ketiga
Riswansyah resmi nahkodai KONI Rokan Hilir periode 2025–2029 (foto/afrizal)Riswansyah Resmi Nahkodai KONI Rohil Periode 2025–2029
Bunga mirip sakura bermekaran di HR Soebrantas, Kota Pekanbaru (foto/Yuni)Mirip Luar Negeri, Bunga Terompet Emas Tabebuya Hiasi Jalanan Pekanbaru
Riau jadi penyumbang terbesar titik lanas di Sumatera (foto/int)Riau Penyumbang Terbesar Hotspot di Sumatera, 132 Titik Membara di Rohil
Tiga calon Sekdaprov Riau, Syahrial Abdi (kiri), Yusfa Hendri, dan Jafrinaldi (foto/int)Masih di Kemendagri, Hasil Akhir Calon Sekdaprov Riau Belum Keluar
Komentar Anda :

 
 
 
Potret Lensa
Konsolidasi Kesiapsiagaan Personel dan Peralatan Pengendalian Kebakaran Hutan di Riau dan Sumbar
 
 
Eksekutif : Pemprov Riau Pekanbaru Dumai Inhu Kuansing Inhil Kampar Pelalawan Rohul Bengkalis Siak Rohil Meranti
Legislatif : DPRD Pekanbaru DPRD Dumai DPRD Inhu DPRD Kuansing DPRD Inhil DPRD Kampar DPRD Pelalawan DPRD Rohul
DPRD Bengkalis DPRD Siak DPRD Rohil DPRD Meranti
     
Management : Redaksi | Disclaimer | Pedoman Media Siber | Kode Etik Jurnalistik Wartawan | Visi dan Misi
    © 2010-2025 PT. METRO MEDIA CEMERLANG (MMC), All Rights Reserved