PEKANBARU – Memasuki musim kemarau, ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali membayangi Provinsi Riau. Masalah klasik ini kembali menjadi sorotan dalam rapat koordinasi yang melibatkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komda Riau, serta para pemilik izin Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PBPH), Kamis (31/7/2025).
Rapat tersebut mengungkap sejumlah faktor utama penyebab karhutla, terutama fragmentasi lahan dan konflik tenurial yang semakin memperparah pengelolaan kawasan hutan.
“Riau mencatat fragmentasi lahan PBPH tertinggi secara nasional, yakni sebesar 21%. Ini banyak disebabkan oleh tumpang tindih kebijakan pemerintah, perambahan, hingga munculnya sawit dan tambang ilegal,” ujar Dirjen PHL, Laksmi Wijayanti.
Menurut Laksmi, akibat fragmentasi ini, sebagian besar kawasan PBPH tidak lagi terkelola secara optimal. Beberapa di antaranya bahkan tidak lagi berada di bawah kendali perusahaan resmi, sehingga memicu konflik kepemilikan dan membuka celah terjadinya pembakaran liar.
Kondisi ini diperparah dengan kebijakan seperti PPKH, TORA, dan alih fungsi lahan (APL), yang membuat batas pengelolaan hutan menjadi semakin kabur. Tak jarang, kawasan PBPH kini dikuasai oleh aktivitas ilegal, mulai dari perkebunan sawit tak berizin hingga penambangan liar.
Pemerintah mendorong pemegang izin PBPH untuk tidak hanya fokus pada operasional bisnis, tetapi juga turut berperan aktif dalam edukasi masyarakat, sosialisasi bahaya karhutla, serta pemberdayaan warga sekitar hutan.
"Kalau kebakaran sudah terjadi, respons pemadaman harus cepat. Tapi pencegahan tetap kunci utama. PBPH tidak boleh pasif,” tegas Laksmi.
Ketua APHI Komda Riau, Muller Tampubolon, menekankan pentingnya pendekatan kolaboratif antar-pemangku kepentingan dalam menangani karhutla. Ia menyarankan agar saat terjadi kebakaran, groundcheck dilakukan secara bersama oleh pihak-pihak terkait, karena objek yang dikunjungi adalah subjek hukum yang sama.
"Koordinasi lapangan sangat penting agar data akurat dan penanganan tidak tumpang tindih,” ujar Muller.
Dalam dialog tersebut, sejumlah langkah dan solusi konkrit telah dirumuskan, antara lain penguatan posko siaga karhutla dan kolaborasi lintas sektor.
Kemudian konsolidasi spasial dan rasionalisasi pengelolaan PBPH. Juga penguatan peran Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan pemerintah daerah. Serta penyelesaian konflik tenurial melalui skema kemitraan kehutanan dan multi-usaha.
Termasuk penegakan hukum terhadap korporasi dan masyarakat yang terbukti membakar. Juga optimalisasi pemanfaatan teknologi dan digitalisasi RKUHP. Serta revisi regulasi kehutanan dan sinkronisasi data spasial antar-kementerian.
Forum dialog tersebut menegaskan bahwa penanganan karhutla dan pengelolaan PBPH tidak bisa lagi dilakukan secara sektoral. Diperlukan pendekatan komprehensif, kolaboratif, dan berbasis data untuk menekan potensi karhutla, khususnya di wilayah-wilayah rawan seperti Riau.
“Tanpa penegakan hukum yang tegas, kebijakan yang selaras, dan penyelesaian konflik lahan, upaya kita akan sia-sia,” tutup Laksmi. (rilis)